11 Februari 2012

ALIRAN SESAT DI INDONESIA


ALIRAN SESAT DI INDONESIA 
Emy Hajar Abra
           

A.    Pendahuluan
Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara dengan dengungan HAM, Pancasila, Demokrasi dan lainnya, tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Penyebaran agama ini bukan hanya merambat pada islam saja, namun agama seperti Kristen pun sudah lama, bahkan belangan ini di aceh, sangat marak terdengar, Fakta yang ada, aliran sesat akhir-akhir ini, bermunculan di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.[3]
Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
B.     Permasalahan
Tulisan ini tidak berkaitan dengan perbedaan isi ajaran-ajaran aliran sesat, Karena tulisan ini bukan kaitannya dengan fatwa-fatwa, dan tafsir-tafsir ajaran agama tertentu, tapi lebih pada posisi hukum dan kebijakan, serta konflik sosialnya saja, sehingga dengan mudah dapat kita fahami, bagaimana posisi Negara pada kasus ini. Sebelum kita membahas tentang aliran sesat di Indonesia alangkah lebih baikknya, kita mengkaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dari politik hukum itu, agar tak ada kerancuan ketika dalam tugas politik hukum ini, penulis justru mengambil tema aliran sesat yang bisa jadi secara kasat mata hal ini dapat dinilai “rancu” atau bahasa simplenya “ga nyambung”.
1.      Definisi politik hukum
Mahfus MD dalam bukunya mengatakan, bahwa politik hukum itu beda dengan ilmu politik hukum, juga taka bisa dipisahakan antara politik dan hukum, sebagaimana Prof Saldi Isro pun memahaminya sepeti mata-hari, yang tak mampu untuk dipisahkan. Politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapa tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru, dan pergantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini maka, politik hukum itu harus berpijak pada tujuan Negara dan system hukum  yang berlaku di Negara yang bersangakutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan system itu terkandung dalam pancasila dan pembukaan UUD.[4]
 Sedangkan ilmu politik hukum lebih dari policy itu sendiri, tapi secara formal juga mengatur tentang politik apa yang melatar belakangi, budaya hukum apa yang digunakan, problem penegakkan hukum apa yang dihadapi dann lainnya, maka dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa segala masalah yang kemudian muncul, perlu mendapat perhatian politik hukum, yang dalam hal ini kebijakan politik hukum itu agar sesuai dengan tujuan Negara.
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat, dan Bagir Manan menilai politik hukum itu Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.[5]
2.      Definisi aliran sesat
Dalam tulisan ini penulis mengambil isu yang tak kunjung hentinya, yaitu aliran sesat di Indonesia, aliran sesat di Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan dari berdirinya Indonesia beberapa aliran yang dikatakan sesat ini sudah muncul seperti ahmadiyah pada abad 20. Aliran sesat, berasal dari dua suku kata, aliran dan sesat, aliran adalah bergerak maju, meleleh, berpindah tempat, dan kata yang seiring yaitu, mazhab, paham, sekte. Sesat adalah salah, keliru, menyimpang dari kebenaran. Dan padanan kata asingnya yaitu, dalal atau bid’ah.[6] Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran sesat adalah pandangan, yang kecendrunganya mengarah pada pengembangan sekte-sekte kearah yang berlawanan dari ajaran agama tertentu.
3.      Macam-macam aliran sesat di Indonesia
Ada beberapa aliran yang oleh MUI di fatwakan sesat, dalam hal ini sekalipun MUI bukan menjadi dasar sumber hukum, namun tidak bisa dibantakahan lagi, bahwa apa yang dikeluarkan MUi dapat menjadi rujukan dasr hukum dalam hal ini menjadi hukum materiil, maka dibawah ini hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan aliran sesat di Indonesia.
Vonis tentang aliran sesat sudah dijatuhkan hakim pada pemimpin kerajaan tuhan Eden yaitu Lia Aminudin yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus dari kerajaan Tuhan "Eden". Sedangkan aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah dan Pengajian al Qur’an suci masih dalam proses hukum. Sebelum itu, ada kasus Yusman Roy yang melakukan sholat dengan bahasa Indonesia.
Munculnya aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah terkait kondisi terpuruknya ekonomi serta gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan. Para pengikutnya adalah orang-orang yang merasa kehilangan harapan ke depan sehingga kemunculan tokoh seperti Ahmad Mushaddeq memang ditunggu-tunggu mereka. Menurut Hasyim adanya  aliran sesat mirip saat masa prolog G30S PKI pada tahun 1964-1965.[7]
Mushaddeq yang bernama asli Abdul Salam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai 1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari al-Quran secara otodidak. Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor sekitar enam tahun silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa siang-malam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan al-Qiyadah al-Islamiyah dan mengaku sebagai rasul bergelar al-Masih al-Maw’ud.[8]
Al-Qiyadah beranggapan bahwa Islam sudah hancur, Nabi Muhammad sudah selesai sehingga digantikan olehnya, menganggap shalat dan puasa Ramadhan belum wajib terkait dengan tahapan yang masih dalam masa perjuangan di Mekah. Perjuangan yang mereka tempuh dilakukan dalam enam tahap, yaitu: perjuangan rahasia, perjuangan terang-terangan, hijrah, perang, futuh (merebut) Mekah dan membangun Khilafah yang diramal akan terjadi pada 2024. Pengikut Al Qiyadah Diperkirakan 8.000 Orang. Pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah yang menyerahkan diri dan ditangkap belum mencapai 100 orang.[9]
Keberadaan Al-Qiyadah al-Islamiyah ini sangat meresahkan kehidupan beragama di masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Ajaran yang disampaikan oleh aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah yang dipimpin oleh Mushaddeq bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Aliran sesat yang lainnya adalah Pengajian al Qur’an suci, diduga telah mengakibatkan hilangnya mahasiswa-mahasiswi. Sejak 9 September 2007, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa” Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui keberadaannya, setelah mengikuti pengajian “al-Qur`an Suci”[10]
Cara perekrutan jamaah pengajian “al-Qur`an Suci” dilakukan dengan sistem berantai atau mirip Multi Level Marketing (MLM). Jamaah yang sudah masuk, diwajibkan mengajak orang lain lagi untuk masuk ke kelompok itu. Begitu seterusnya, mirip system penjualan MLM. Jamaah yang direkrut harus pintar,  pemikir dan pendiam.[11]
Selain ingkar sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan perzinahan. Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.[12] Pada tanggal 9 November 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat, diantaranya:
  1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
  2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
  3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
  4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
  5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
  6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
  7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
  8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
  9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
  10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i[13]

4.      Kedudukan hak asasi manusia
Sejumlah kalangan banyak yang menggugat fatwa MUI tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI. Bahkan, mereka juga menuntut agar MUI dan PAKEM dibubarkan.  Jika ditelaah, pendapat mereka yang katanya membela kebebasan dan HAM itu,  sangatlah lemah. Tindakan aparat penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk penangkapan/penahanan pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, maupun tindakan pelarangan dari kejaksaan agung,  secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar.
Perlu diingat bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:  “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”[14]
Jika kita perhatikan anak kalimat yang digarisbawahi dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang perlu kita promosikan di Indonesia hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan beragam bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Betapa tidak, karena di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal, sebaliknya ada pandangan juga yang menyatakan HAM bersifat partikular.
Karena itu keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan mengenai pembatasan pelaksanaan konsep HAM sebagaimana tersebut diatas, lebih dipertegas lagi pada pasal 70, UU No. 39  Tahun 1999: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita pun tidak boleh mencampakkan hal yang sama pada sistem pengembangan pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama/kepercayaan. Sebagai suatu ajaran agama/kepercayaan sekitar 1,4 milyar jiwa, Islam tentu mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya. Standar nilai kesucian ajaran Islam tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Setiap tindakan yang melahirkan paradigma kepercayaan dan atau peribadatan dengan menggunakan label Islam,  tetapi menyimpang dari standar nilai ajaran agama Islam, maka itulah yang disebut dengan ajaran sesat dan menyesatkan yang dalam bahasa hukum disebut delik penodaan agama.
5.      Pandangan hukum
  1. Pancasila
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
  1. UUD 1945
Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila menempatkan agama sebagai peranan penting, serta menjadi sasaran dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
c.       Undang undang
Betapa tidak, selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari ius constitutum. Postulat penindakan tersebut bertumpu pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewenangan aparat penegak hukum sendiri untuk menindak pelaku delik ajaran sesat dan menyesatkan, diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”[15]
Sedangkan pada pasal 2 disebutkan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Undang-undang nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan, penodaan agama, intinya menyatakan aliran sesat sabagai ajaran terlarang. Seperti dalam pasal 1 UU no 1 tahun 1965. Begitupun dalam fatwa-fatwa yang dikeluarakan oleh MUI, dengan fatwa yang menyatakan adanya beberapa aliran sesat, seperti Ahmadiya, Lia Eden, Qur’an Suci, Sholet dua bahasa, dan lainnya, maka fatwa yang dikelurkan ini dirasa perlu agar tercapainya keberagaaman yang harmonis, lagi adil dan damai.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1965, beberapa diantaranya adalah:
1.      Sila pertama pancasila” ketuhanan yang maha esa”, yang tidak dapat dipisahkan dari agama, yang merupakan landasan moral, dan landasan kesatuan nasional.
2.      Banyak muncul aliran kepercayaan yang menyatakan dalam ajarannya, bahwa aliran tesebut mempunyai nabi dan kitab suci sendiri
3.      Aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama
4.      Aliran-aliran tersebut sudah menimbulkan, pelnggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai kesucian agama
5.      Menyalahgunaan dan atau mempergunakan agama sebagai pokok sangat membahayakan agama-agama yang ada[16]
Kalau kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon.
Selaku penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa Negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa dikatakan bahwa Negara jauh dari  agama?, hal ini justru menekankan bahwa Negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukunya. Bahkan agama islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi sumber hukum ,sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum materiil.[17]
Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, konsistensi dan koheren tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[18]
6.      Yudicial review MK
Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti,aliran-aliran yang atas nama islam, kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan agama membuat undang undang nomor 1 tahun 1965 ini diajukan judicial review oleh beberapa kalangan  ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Salah satu hakim MK Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. 
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[19]
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Perkara ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[20]
C.    TEORI
            Bertitik tolak dari kasus yang terjadi ini, maka Oemar Seonadji, mengemukakan mengenai beberapa tori yang terkait, diantaranya:
  1. Teori perlindungan agama, adalah teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  2. Teori perlindungan perasaan agama, yaitu: teori yang memandang rsa perasaan agama keagmaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  3. Teori perlindungan perdamaian agama, yaitu; memandang kedamaina beragama diantara pemeluk agama.[21]
Adapun teori terkait yaitu teori utilitas, yang dikemukakan oleh Jeremy bentham, bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang sebesar besarnya, bagi manusia dengan jumlah yang sebanyak-banyakknya.[22]
D.    Solusi
Ada hal yang menarik dari beberapa komentar para ahli di bidangnya, salah satunya Psikiater, dokter, sekaligus ustad  Prof. Dr.dr. H. Dadang Hawari, mengatakan, bahwa  terdapat kelainan jiwa, salah satunya ditandai dengan adanya waham kebesaran dan keagamaan. Waham atau delusi adalah keyakinan yang tidak benar. Meskipun terdapat bukti-bukti tentang ketidakbenaran tersebut, yang bersangkutan tetap meyakininya. “Suatu aliran dikatakan sesat, apabila aliran itu menyimpang dari maenstrem agama induknya. Misalnya saja, ayat-ayat Al Qur’an ditafsirkan semaunya, tidak percaya pada hadits, mengkafirkan sesama muslim dan seterusnya ,”[23]
Pemimpin aliran sesat pandai memutar-balikkan ayat-ayat dengan logika palsu (pseudo-logika) dalam rangka meyakinkan para pengikutnya. Para pengikutnya adalah mereka yang sedang mengalami “kekosongan spiritual”, tidak faham tentang pokok-pokok ajaran Islam. Tetapi ada juga tokoh-tokoih intelektual Islam yang terpengaruh ajaran sesat. Benar mereka intelektual Islam, tetapi kurang memahami keislamannya.
Buku“Aliran Sesat Ditinjau dari Kesehatan Jiwa dan Agama” (Diterbitkan Badan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). beberapa aliran sesat di Indonesia, diantaranya: Aliran Inkar Sunnah, Isa Bugis, Darul Arqam, Lembaga Kerasulan, NII-Ma’had Al Zaytun, LDII, Lia Aminuddin, Millah Ibrahim, dan Syiah yang suka mencela sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman.[24]
Maka dari pembahasan diatas, penulis memberikan beberapa perhatian khusus berkaitan dengan aliran sesat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.      Bahwa Negara patut memperhatikan fatwa-fatwa kesesatan dari MUI yang berakibat penting demi terciptanya kesucian agama, yang kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan hukum nantinya.
2.      Bahwa HAM yang sering dijunjung tinggi sebaiknya diperhatikan dulu asas kedudukannya, bahwa HAM yang diangungkan itu lebih mengutamakn kedamaian dan keadilan kehidupan yang beragam ini, bahwa adanya HAM memanglah tidak mungkin mampu mengakomodir semua kepentingan, setidaknya, mampu memperhatikan bagian-bagian yang terluka juga menodai kehidupan masyarakat.
3.      Bahwa hukum-hukum, aturan yang sudah cukup baik itu tinggalah penegakkan dan keberanian Negara dan aparat selaku menjalan aturan, agar tidak lagi kasus aliran sesat ini, makin menyesatkan dan menodai kehidupan masyarakat
4.      Yang terakhir, penulis memberi masukan secara subyektif agar tiap-tiap individu kita lebih mengenal agama juga arti menghargai lebih luas.


[3] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[4] Moh mahfud MD. Membangun politik hukum dan menegakkan konstitusi, Jakarta, rajawali pers, 2010, hlm 5
[6] Kamus besar bahasa Indonesia, balai pustaka. Jakarta. 1990. Hlm 22,836
[7] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com 2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[8] Menyikapi al-Qiyadah al-Islamiyah http://www.cmm.or.id /cmm-ind_more .php  ? id=4928 _0_3_0_C
[9] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965   http://hariansib.com    /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965//

[10]Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Sucihttp://www.media-islam.or.id  /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran sesat-al-quran-suci/

[11] Pengajian Alquran Suci Jaring Jamaah Mirip MLM, Erna Mardiana – detikcom http://www.detiknews.com /index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/04 /time /123032/idnews/837829/idkanal/10
[12] Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci http://www.media-islam.or.id /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran-sesat-al-quran-suci/
[13] MUI: 10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat http://www.media-islam.or.id /2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/
[14] Saharuddin Daming. Ham dan aliran sesat. Seminar kampus, 2010
[15] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan, 2009, hlm 93
[16]. ibid
[17] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[18] Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[20] ibid
[21] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan 2009, hlm 92
[22] Ibid.
[24] ibid

KONTROVESI PERDA SYARI’AH[


KONTROVESI PERDA SYARI’AH[1]
EMY HAJAR ABRA[2]

A.    PENDAHULUAN

Pancasila ayat satu dengan jelas menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, dan hal itu tak berhenti disitu dalam UUD 45 pasal 28 dan 29 pun jelas dalam hal agama dan hak tiap-tiap individu yang dilindungi, belum lagi dengan hadirnya beberapa undang-undang penguat hal tersebut, pada dasarnya negara kita ini sudah cukup baik dalam hal demokrasi, HAM, dan UUD 45, hanya saja penerapannya bertabrakan dengan kepentingan antar kelompok masing-masing, dan inilah yang menimbulkan masalah yang tak berkesudahan, kenyataan ini menyebabkan bahwa ketika kepentingan satu ditegakkan maka adakalanya kepentingan yang lain ditiadakan, disitulah kenyataan bahwa keadilan itu abu-abu, sekalipun demikian, pentinganya keberadaan Negara untuk turut serta sebisa mungkin menyelesaikan dan ikut membantu masalah yang ada.
            Akar Kontroversial di atas berawal dari beberapa masalah berikut: Perbedaan Pandangan dalam Melihat agama, Problem Sumber Hukum, Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis, Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis, Kontroversi Muslim dan non Muslim. Kontroversi ini agaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Di samping itu dapat juga dieliminir akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi ini.
Di zaman Orde Baru dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto sering mengatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler. Pernyataan ini nampaknya ingin menunjukkan pada satu sisi agar tidak terjadi dominasi agama dan pada sisi lain agama juga tidak dapat diabaikan. Namun karena dominasi kekuasaan sangat kuat tidak muncul reaksi politik yang bernuansa agama, kalau toh muncul langsung dipotong oleh kekuasaan. Indikator yang cukup menentukan terhadap hal ini adalah munculnya kebijakan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, atau dikenal juga dengan asas tunggal. Semua organisasi, baik ormas kegamaan maupun ormas non keagamaan menjadi merubah asasnya dengan Pancasila kalau ingin tetap diakui keberadaannya di bumi pertiwi ini.
B.     PEMBAHASAN
Semenjak tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan pemerintah tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.
Seirama dengan bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula keinginan bagi sebagian kalangan yang peduli pada komitmen keislaman agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural. Untuk mencapai hal ini menurut mereka harus dimulai melalui politik kekuasaan. Keinginan ini terlihat dari kemunculan berbagai partai Islam. Di samping itu di daerah-daerah yang memiliki basis keislaman yang kuat muncul pula keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara holistik. Aceh, umpamanya, menuntut diberlakukannya Undang-Undang Otonomi khusus sebagai daerah Istimewa dan sebagai daerah yang memiliki budaya Islam yang sangat kental, yang terkenal dengan serambi Mekah. Begitu juga daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Banten, Bulukumba dan lain-lain sebagainya. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi perdebatan yang sangat kuat di kalangan Anggota DPR untuk mengakui keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Syar'iah. Sampai saat ini belum terjadi kata sepakat di antara mereka.
Beberapa pengertian politik, diantarannya:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[3]
a.      Perda syari’ah
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu  peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit  berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
            Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan penjelasan dan penafsiran para ulama.[4]
Istilah syari'ah ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
            Jadi, istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab, tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai dan menggunakannya.
1.      Peta Kontroversial
            Ada yang mengelompokkan kontroversi terhadap Perda Syari'ah ini pada tiga kelompok. Pertama, yang mendukung; kedua, yang menolak dan ketiga, yang tidak memiliki sikap apakah mendukung atau menolak. Yang terakhir ini tidak akan dikomentari, karena tidak mempengaruhi arus pemikiran yang berkembang. Dalam pandangan lain ada yang mengelompokkan kontroversi ini antara kalangan agamis dan kalangan nasionalis. Kalangan agamis untuk yang mendukung dan nasionalis untuk yang menolak. Kalangan agamis ada yang berbasis santri ada yang non santri tetapi memmiliki kepedulian yang tinggi terhadap Islam.
Kelompok yang mendukung beralasan bahwa persoalan kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini hanya bias di atasi dengan menerapkan ajaran Islam secara baik dan holistik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan wacana akan tetapi sudah berada di tingkat praksis. Hal ini dapat dilihat dalam penerapan busana muslim bagi siswa dari SD sampai SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti Maksiat seperti penerapan jam malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang, Penerapan wajib pandai baca tulis Alqur'an bagi calon mempelai di Bulukumba Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lainnya.
            Keinginan dalam menerapkan ajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kelompok yang mendukung diperkuat dengan beberapa alasan historis yang sudah muncul sejak lama. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Pertama, pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau lebih di kenal dengan Piagam Jakarta.
Kedua, pada sidang konstituante. Dalam torehan sejarah yang terjadi pascapemilu tahun 1955 itu, terjadi tarik-menarik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra seputar keinginan menjadikan syari’at Islam diterapkan sebagai bagian dari hukum Indonesia. Tetapi karena beberapakali deadlock, dan tidak jadinya rumusan negara membuat Sukarno mengambil alih konstituante sehingga lahir Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Maka, perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga, seiring lamanya kendali Orde Baru yang menabukan aspirasi, nuansa untuk menerapkan syari’at pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat Islam. Berubahnya zaman, dan adanya reformasi, membuat keinginan untuk mengamandeman undang-undang dasar dan memasukkan tujuh kata itu pun muncul lagi. Ditengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam Jakarta.
Kelompok yang mendukung ini ada dua, yaitu : mendukung secara simbolistis dan mendukung secara substansialis. Pendukung Perda Syari'ah simbolistis ingin aturan ini lebih kongkrit dan tegas memakai simbol syari'ah atau Islam, termasuk pemberian nama peraturan ini dengan Perda Syari'ah. Setidaknya inilah yang diperlihatkan oleh Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPSI) di Sumatera Barat.
Pandangan yang substansialis maksudnya adalah yang ingin melihat nilai-nilai syari'ah terdapat dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, walaupun tidak menyebutkan symbol atau label syari'ah. KH. Ma'ruf Amin dari MUI nampaknya lebih cendrung berpandangan substansialis ini. Beliau mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa hingga kini di Indonesia tidak pernah ada peraturan daerah (perda) syariah, seperti yang ditakuti beberapa pihak yang tidak mengerti tentang apa itu syariah. "Yang ada adalah peraturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai syariah, dan itu untuk kebaikan masyarakat, dan telah disetujui oleh banyak partai yang menjadi wakil rakyat," ujarnya dalam pernyataan bersama MUI-Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Menurut dia, setelah diterbitkannya peraturan-peraturan yang disebut sebagai perda anti-maksiat itu, angka kriminalitas di beberapa daerah cenderung menurun. Ma`ruf menyatakan, tidak ada pertentangan di antara perda-perda yang menjadi polemik di berbagai media massa tersebut dengan peraturan di atasnya, apalagi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2.      Akar Kontroversial
Kontroversial dalam menanggapi Perda Syari'ah bukanlah suatu sikap yang muncul belakangan ini secara tiba-tiba, akan tetapi sudah memiliki akar kebelakang. Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat untuk menelusuri akar kontroversial ini. Uraian berikut ini akan mencoba melihat akar kontroversial tersebut:
Perbedaan Pandangan dalam Melihat Islam
Perbedaan padangan dalam melihat Islam berimplikasi terhadap penerimaan atas keberadaan Perda syari'ah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan dan ada pula yang melihat semata-mata sebagai agama, sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan.
Bagi yang memandang Islam merupakan sistem kehidupan bependapat bahwa hidup ini diatur oleh satu-satunya sumber yaitu ajaran Islam (Alqur'an dan Sunnah), karena ajarannya bersifat komprehensif, universal dan terintegrasi dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Pandangan ini kemudian memperkuat alasannya dengan: QS 2:208; Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Bagi aliran substansialis persoalan nama tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah bagaimana aturan hukum Islam itu memasuki berbagai wilayah kehidupan tanpa menyebutnya sebagai hukum Islam/syari'ah atau nama lain yang seirama dengan itu.
            Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur persoalan ritual dan spiritual. Dalam pandangan ini Islam sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan, yang hanya dapat dilihat pada wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial). Pandangan ini lebih menekankan agama dari sudut pandang sosiologis. Sehingga ajaran Islam tidak dapat mengintervensi urusan Negara dan kekuasaan. Pandangan inilah yang kemudian disebut sekuler, yaitu memisahkan antara agama dan Negara. Di Indonesia, walaupun ada yang mencoba bersikap sekuler, namun kelompok ini tidak begitu berpengaruh, karena Negara bukan Negara sekuler. Akan tetapi di Eropa sebelum reformasi, gereja mempunyai hak  membentuk untuk undang-undang, di samping itu Negara juga mempunyai hak yang sama, sehingga tedapat dua macam pemerintahan, yaitu pemerintahan duniawi dan pemerintahan rohani. Namun setelah reformasi keadaan tersebut berubah. Pemerintahan rohani lenyap, sehingga yang berhak membentuk hukum hanyalah Negara atau kekuasaan duniawi. Politik inilah yang kemudian melahirkan sekularisasi hukum.
Problem Sumber Hukum
Dalam literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprodensi, pendapat ahli dan doktrin. Konsekuensi dari teori ini menjadikan bahan-bahan lain tidak dapat dijadikan sumber hukum, termasuk sumber-sumber ajaran agama dan dan atau pendapat ahli hukum agama yang di dalam Islam  disebut ijtihad ulama atau fukaha. Walaupun salah satu sumber hukum itu pendapat ahli, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ahli hukum sekuler atau ahli hukum Barat.
Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis
Di berbagai lembaga pendidikan agama di Indonesia studi hukum Islam boleh dikatakan bersifat teoritis. Hukum Islam yang dipelajari tidak banyak ditemukan dalam realita kehidupan, kecuali yang menyangkut hukum-hukum ibadah secara khusus seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi dalam bidang mu'amalah sulit ditemukan realita hukum Islam seperti bidang kewarisan, ekonomi, politik, pidana, dan lain-lain sebagainya. Sehingga studi hukum Islam cendrung hanya untuk memenuhi keperluan ujian peserta didik, baik di kalangan siswa maupun mahasiswa.
Sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berhubungan dengan hukum Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU Wakaf, namun masih bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah keperdataan yang ruang lingkupnya pun sangat terbatas. Di samping itu bila diikuti perdebatan seputar kelahiran undang-undang ini dapat pula memberikan kontribusi untuk mempertajam kotroverisial kelahiran Perda Syari'ah, karena perjuangan untuk meloloskan UU tersebut sangat alot.
Dampak langsung dari studi hukum Islam yang bersifat teoritis ini terhadap kontroversi Perda Syari'ah adalah seakan teori atau konsep hukum Islam bukan untuk kontribusi hukum positif. Ditambah lagi studi hukum Islam tidak diiringi dengan studi penerapan hukum (taqnin). Studi hukum Islam berhenti pada tataran syari'ah dan fiqh, tidak melangkah selangkah lagi ke qanun (Undang-undang).
Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
            Kontroversi antara kelompok agamis dan nasionalis sudah berlangsung sejak lama, mulai sejak merumuskan dasar Negara. Kelompok agama diwakili oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan santri, baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi atau hanya pada jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan kalangan nasionalis diwakili oleh meraka yang berlatar belakang pendidikan Barat atau pendidikan umum. Walaupun akhir-akhir ini dinding pembatas yang berpedidikan santri dan pendidikan umum sudah ada yang mencair, akan tetapi pandangan kelompok agamis dan nasionalis tetap saja masih kental di kalangan para pengamat. Bahkan di kalangan praktisi politik pun hal ini sangat kelihatan. Kalangan agama mendirikan partai-partai politik yang berlabel agama sedangkan kalangan nasionalis menanggalkan label-label kegamaan dari partai mereka.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok agamis dan nasionalis berbeda dalam melihat keberadaan Perda Syari'ah. Kalangan nasionalis tidak menginginkan adanya simbol-simbol keagamaan, sedangkan kalangan agamis tidak bisa melepaskan agama dari kehidupan mereka, apakah secara simbolis atau secara substansialis.
b.   Otonomi Khusus Aceh dan Perda Syariah
Berdasarkan pasal 18B UUD 1945 ayat (1) negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan mengormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Aceh merupakan salah satu daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan di beri kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat  setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh diamanatkan dalam TAP No. IV/MPR/1999 yang dikuti dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah  Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. UU No. 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan hasil kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, guna menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat dalam kerangka NKRI.  Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) tersebut merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
UUPA tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU ini sebagai subsistem sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu, yakni merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Bagir Manan, pengertian khusus pada umumnya penyelenggaraan secara khusus sesuai dengan karakteristik dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kekhususan atau bersifat istimewa yang diberikan kepada Aceh di bidang Syariat Islam, Pendidikan, Adat dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah,[5] telah melahirkan lembaga/perangkat daerah,  yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Penerapan yang paling khusus dalam otonomi khusus adalah penerapan syariat Islam di daerah tersebut.
Penerapan syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi  Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),    sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan Aceh. Adapun  tugas MPU  adalah memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada masyarakat.
 Masukan pertimbangan dan saran ditujukan terhadap kebijakan daerah, agar kebijakan  yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.[6] Draft akademis disusun berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian baik teks maupun dalam masyarakat dengan bantuan jasa para ahli  Syari’at terutama para akademisi dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Draft yuridis Perda disusun oleh Dinas  Syari’at Islam bekerja sama dengan Dinas lain yang terkait, serta dengan Biro Hukum (drafting) pada Kantor Gubernur Provinsi NAD.  Transfrormasi asas-asas  Syari’at (dalam arti luas) dilakukan oleh Dinas  Syari’at, bekerja sama dengan Dinas-dinas Dearah  lainnya.[7]
Pengertian Syariat Islam dalam rumusan UU No. 44  tahun 1999 jo. UUPA sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam. Syariat Islam diartikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.  Oleh karena pengertian Syariat Islam dirumuskan dalam aspek yang sangat luas, maka dalam praktik pelaksanaannya akan mengalami kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah adanya ketentuan yang membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan Qanun/perda dan Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
d.      Sistem Hukum Nasional
Ketika membicarakan tentang sistem hukum kita tidak dapat menempatkan hukum sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem  yang saling berkaitan. Pertama-tama Untuk memahami makna sistem Mahadi mengatakan sistem adalah  suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen yang saling berhubungan, dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan tertentu, diantara komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang lain.
Selanjutnya Sudikno mertokusumo mengatakan hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Arti penting suatu peraturan hukum karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan hukum lain. Jadi hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya, dengan kata lain sistem itu merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan.[8]
Menelisik kepada dasar dari sistem hukum nasional kita yaitu  Pancasila, Menurut Arif Sidharta pandangan hidup Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar yang sudah dengan sendirinya harus begitu.
Dengan demikian eksistensi hidup manusia merupakan kodrat yang diberikan tuhan yang selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat, Dalam hidup bermasyarakat  itu manusia mempunyai sifat kekeluargaan. Arif Sidharta menarik kesimpulan asas dalam hukum Pancasila yaitu :
a.       Asas semangat kerukunan, yaitu ketertiban,keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin,kesenangan bergaul diantara bersamanya, keramahan dan kesejahteraan (baik materil maupun spiritual),
b.      Asas Kepatutan, Yaitu tentang tata cara menyelenggarakan hubungan antar warga masyarakat yang didalamnya para warga masyarakat diharuskan untuk berperilaku dalam kepatutan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan social,
c.       Asas Keselarasan, Yaitu terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.[9]

C.    TEORI TERKAIT
Hukum sebagai tatanan kebajikan, teori Socrates. Socrates menampilkan tokoh anti tesis apllonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi berintegritas” (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototype manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah “bainatang urakan”model Dionysian. Bukan pula mahluk oportunis ala Protagoras. Manusia hakikat asasinya adalah wujud logos dan oleh karena itu kehidupannya termasuk dibidang hukum mencerminkan keluhuran logos itu.[10]
Bagi Socrates sesuai dengan kahikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tananan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonism diri. Hukum sejatinya adalah tatanan obyektifitas untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.  Bagi Socrates, karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya dating dari kegagalan untuk mengetahuai apa yang baik. Teori Socrates menampilkan teori ‘tertib hidup’, yang lain lagi.[11]
D.    PENUTUP
Berdasarkan prinsip otonomi internal right self determination yaitu hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya maka daerah berwenang mengatur sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam kewenangan membentuk peraturan daerahnya. Terlebih lagi dengan adanya pasal 18B UUD yang mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan daerah maka menjadi dasar konstitusional dari pemberlakuannya otonomi khusus.
Otonomi khusus daerah Aceh merupakan kekhususan yang sangat istimewa karena dapat menerapkan sistem hukum sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat Islamnya. Dalam suatu sistem hukum nasional yang menggunakan kerangka negara kesatuan kesemua komponen hukum yang ada itu harus mencapai suatu kesatuan tujuan hukum nasional, tidak dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan hukum nasional tersebut. seperti yang dikatakan Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi Pancasila merupakan tujuan hukum nasional dan untuk mencapainya dilakukan dalam kerangka UUD 1945.
Ketika kita melihat pada hakikat makna sila satu Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia. Manusia berkewajiban menjalankan setiap perintah-perintah tuhan YME. Dalam pandangan Islam Kewajiban warga negara sebagai seorang Muslim merupakan tanggungjawabnya untuk patuh terhadap Syari’at Islam,  sedangkan bagi non muslim berkewajiban untuk menghormatinya.
Oleh karena itu ia harus patuh terhadap hak dan kewajiban masing-masing secara pribadi dan  Pemerintah berkewajiban untuk menegakkan aturan-aturan tersebut agar Syariat Islam yang merupakan dambaan seluruh masyarakat dapat berjalan sebagaimana diharapkan.  Tujuan satu-satunya pembentukan ummat Islam ialah supaya ia secara organisatoris berusaha menegakkan dan melaksanakan makrufat dan menindas serta menghancurkan mungkarat. Penerapan Syariat Islam dari sudut pandang ini dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila yaitu menjalankan perintah-perintah Tuhan YME.
Namun, lebih lanjut lagi penerapan syariat Islam itu sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila tetap harus memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan, asas kepatutan, dan asas keselarasan. Penerapan perda syariah harus tetap menjaga keharmonisan sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam artian pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam kerangka NKRI, terutama dalam pembentukan perda syariat, baik secara materiil maupun formil tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional.
            Dengan demikian Perda syariah tersebut mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum nasional. Dalam proses pembentukan perda syariah tersebut harus selalu memperhatikan perundang-undangan nasional, penerapan asas-asas dalam syariat Islam itu dapat diterapkan secara eklektis dalam artian harus di pilah-pilah nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru menyebabkan ketidak teraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum nasional sehingga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Penerapan Perda Syariah berdasarkan prinsip otonomi Kkhusus dapat dilakukan asalkan berada dalam kerangka sistem nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembentukan perda Syariat Islam dapat menerapkan syariat Islam itu secara eklektis kedalam perda tersebut dengan memperhatikan perundang-undangan nasional

DAFTAR PUSTAKA
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia,Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia ,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Ni’Matul Huda,  Hukum Pemerintahan Daerah ,Bandnung : Penerbit Nusa Media,2009
Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan
Rudi M Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
Sukron Kamil, makalah : perda syari’ah di indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim, disampaikan pada  diskusi serial terbatas islam, ham dan gerakan sosial di indonesia , Pusham UII, Yogyakarta ,13-14 Agustus 2008
UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh




[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik, akses pada rabu 18 januri 2012
[4] Zainudin, artikel: Kontroversi seputar perda syariah
[5] Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Rudi M Rizky, Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008. Hlm. 76
[9] Rudi M Rizky, Filsafat Hukum Pancasila, Hlm. 16
[10] Dr. Bernard.L.Tanya dkk, teori hukum, genta publishing, semarang, 2006,hlm 30
[11] Ibid.