Penodaan
Agama Dalam Konflik Dan Solusinya,
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1965, Teori Thomas Aquinas [1]
Emy
Hajar Abra[2]
A.
Pendahuluan
Sudah
sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara tetapi konflik agama
sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya,
nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban
dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran
tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu
lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang
beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya,
tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Sekalipun
pada awal persiapan NKRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi
perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu
defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi
pelajaran agama diberikan kepada pelajar/mahasiswa dan merupakan mata
pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak
sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama
ini terumuskan dengan baik
Saya
hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang
agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang
diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang
sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem
keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada.
Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang
membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi,
maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagai agama.
Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk
disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia
tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan
suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan
berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia
adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama
tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.
Silang
pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan
lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar
kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain
juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan
dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi
terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu
kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.
Penyebaran
agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam
dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran
agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu
komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi
oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat
dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar
izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam
undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi
konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.
Perlu
juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan
agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu
diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana
agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
B.
Permasalahan
Kalau kita
melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan
sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru
dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua
bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon. Adanya undang-undang penodaan
agama nomor 1 tahun 1965 bukan berarti masalah akan berhaenti atau berkurang, justru
masalah kian bertambah dan menjamur,artinya apakah bangsa ini membutuhkan
undang-undang yang jauh lebih mengatur agama?
Selaku penulis,
dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa
Negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang
beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang
dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang
penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa
dikatakan bahwa Negara jauh dari agama?,
hal ini justru menekankan bahwa Negara dengan malu-malu ikut serta akan
hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam
hal hukunya. Bahkan agama islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia
dapat menjadi sumber hukum ,sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai
sumber hukum materiil.[3]
Memahami
situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman
sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat
bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati.
Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah
diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara
pasti, konsistensi dan koheren tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan
melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[4]
Kasus-kasus
yang terjadi beberapa tahun ini seperti,aliran-aliran yang atas nama islam, kekerasan
atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan
dengan agama membuat undang undang nomor 1 tahun 1965 ini diajukan judicial
review oleh beberapa kalangan ke
Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK
yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan
hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya
masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi
juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain
agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat
oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh
diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara
tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak
mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh
negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Meskipun
demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan
sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi
orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis.
Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD
mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri.
Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat
bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah
mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk
pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara
substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila
dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK menilai
bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat
kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat
dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU
Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan
pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap
orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan
penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU
Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap
agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan penodaan
agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang
menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang
dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk
menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama
ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU
kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi
ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini
merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam
masyarakat.[5]
MK menimbang
bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama
hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah
masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini
kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)
UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut
kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum
administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan
Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak
beralasan hukum
Dalam putusan
ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim
Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa
dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama
menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin
kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD
adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama
tertentu saja. "Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan
revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak
dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional.
Sementara itu, dissenting
opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida,
bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan dengan pandangan dan nilai
baru yang sesuai dengan kondisi saat ini. "Kebebasan beragama di indonesia
dilandasi dengan hukum dan negara wajib menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek
yang diperhatikan yakni internum dan externum. Pasal 1 dan penjelasannya
terdapat ketidak-sesuaian karena agama hanya terbatas enam yang diakui.
Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan cenderung diarahkan kepada salah satu
agama yang kemudian menyentuh eksistensi setiap kepercayaan agar diarahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Konstitusi perempuan pertama ini.[6]
Selain itu,
ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang dalam
bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula
penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan
alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali
karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya
mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan
perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
Perkara
No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non
pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi
Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan
Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat
Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman
Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul
Haq.[7]
C. TEORI
Teori Thomas
Aquinas dirasa mampu meredaksikan apa yang terjadi dalam kasus ini, hal ini
berkaitan tidak hanya dengan ilahi saja, tapi kekuatan ilahiyahlah yang
mempunyai kekuatan lebih untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup
ini mengejar kebaikan, dan mengihindar dari kejahatan, maka kebaikan yang
tercermin dalam hal ini adalah mempertahankan hidup, cinta, berkeluarga,
mengenal tuhan dan hidup yang bersahabat.
Doktrin Thomas Aquinas ini
melihat konfigurasi tata hukum dimuali dari:
1. Lex
aeterna = hukum dan kehendak tuhan
2. Lex
naturalis = prinsip umum (hukum alam)
3. Lex
devina = hukum tuhan yang dalam kitab suci
4. Lex
humane = hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam[8]
Tidak jauh
berbeda dengan agustinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan agama,
ini tidak perlu diulangi lagi. Hal yang
perlu dicatat disini adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui
teorinya tentang keadilan hukum betapa pentinganya mutu dari suatu aturan
hukum. [9]
D. Solusi
Kasus diatas
jelas menarik perhatian banyak kalanagn, dan hal ini membuat adanya upaya hukum
baru agar masalah yang terus menerus dan tak kunjung henti ini dapat
disalesaiakan sekalipun tidak secara menyeluruh dan adil, namun setidaknya
dapat mengurangi permalashan yang ada, dan solusi yang tawarkan dari beberapa
pemerhati melalui tulisan- tu.lisannya yaitu berupa undang undang perlindungana
agama.
Dalam hal ini
saya melakukan penelitian kecil-kecilan dalam arti sekedar berdiskusi dengan
beberapa teman-teman sekeliling yang juga berasal dari non islam diantaranya,
hal yang menarik dari perbincangan tersebuat adalah, adanya rasa kekhawatiran
atas fenomena agama yang seharusnya damai jusrtu ada rasa saling curiga satu
sama lain, sekalipun tidak dengan gamblang hal ini diperlihatkan, namun rasa
itu tak mungkin diabaikan setelah adanya kasus beberapa tahun terakhir ini, dan
yang justru menarik dalam hal ini aldah islam yang menjadi tontonan kesalahan
itu, dan merekapun mengamini konflik islam yang jusrtu menjadi sorotan dari
kasus teroris, pembantain dibeberapa daerah, juga berbagai aliran yang dikatan
sesat juga islam, artinya dalam hal ini islam benar-benar menjadi “ajang”
perhatian sekaligus konflik yang berkepanjangan, keinginan mereka skalipun
tidak terlalu memahami masalah hirarkie ataupun aturan hukum yang ada, namun
ada asa yang diletakkan pada Negara agar ammpu menyelesaikan masalah yang tak
kunjung selesai, yang malah jusrtu makin sensitive belakangan ini.
Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang ini sudah seharusnya membuat
Undang-Undang tentang Perlindungan Agama. Hal tersebut diperlukan mengingat
sampai sekarang ini belum ada ketentuan hukum atau peraturan yang pasti tentang
perlindungan kesucian/kemurnian suatu agama dari perilaku penistaan/penodaan
suatu agama oleh sekelompok orang/organisasi. Dalam KUHAP sudah ada pasal yang
mengatur tentang ketentuan penistaan/penodaan suatu agama. Tetapi, pasal
tersebut menjadi mandul ketika dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Misalnya
pro-kontra keberadaan aliran Ahmadiyah.[10]
Ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dalam hal ini:
1. Sekalipun
keberadaaan undang-undang penodaan agama masih bersifat kontroversi dalam
penerapannya, namun hal ini bukan berarti keberadaannya ditiadakan, justru
harus adanya undang-undang penguat atau dapat dikatakan undang-undang pendukung
dalam hal ini yaitu undang-undang perlindungan agama.
2. Fenomena
pemikiran yang yang beraganggapan bahwa Negara tak patut ikut serta dalam hal
agama, hal ini justru bertentangan dengan beberapa pokok penting yang
dijelaskan diatas, seperti undang-uangda itu sendiri, MUI, pengadilan, dan
adanya undang undang dasar pasal 29 ayat 1 dan 2 yang butuh penjelasan lebih
luas, dan mungkin dapat pada kesempatan lain, seperti bagaiman Negara
berketuhanan dan kemerdekaan agama itu seperti apa
3. Teori
apapun yang ada dalam kehidupan Negara, hukum dan social tentulah teori itu
patutnya mementingkan kehidupan yang kesejateraan, tidak menyakiti, adil,
tentram, damai, tidak mengadu domba dan tentunya beretika juga berlogika alam
dan ilahiyah.
4. Dari
hasil penelitian kecil yang saya utarakan diatas, dapat disimpulkan bahwa
mereka yang dari manapun asal agamanya menaruh harapan yang besar pada Negara
agar masalah agama yang seharusnya semua agama percaya akan damai ini tidak lagi
menjadi ancaman satu sama lain, dan hal ini tentunya menentang juga menangkis
beberapa anggapa yang mengatakan bahwa Negara tak perlu ikut campur dalam
masalah agama itu jelas salah besar, karena kalau bukan pada Negara, pada siapa
lagi masalah ini dapat diselesaikan, sekalipun beberapa ormas dan juga LSM
masyarakat ada didalamnya, tapi kita Negara hukum yang mana melalui jalan
hukumlah suatu masalah dengan jelas bisa diselesaikan.
[3]
Moh Mahfud MD, membagun politik hukum,
menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[4]
Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan
hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[5]
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3941,
akses rabu 11 januri 2012
[6] ibid
[7]
ibid
[8]
Bernand dkk, teori hukum, Yogyakarta,
Genta publishing 2006, hlm 59
[9]
Ibid, hlm 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar