08 Desember 2012

BEAUTY CONTEST VS TENDER TINJAUAN PASAL 22 UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999


Beauty contest dan tender adalah salah satu dari berbagai cara yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha, namun hal tersebut bisa salah ketika proses kegiatannya justru memonopoli dan terjadi persaingan usaha yang tidak sehat, dan hal tersebut yang menjadi pokok permasalahan pada tulisan ini, KPPU selaku komisi independen yang di amanahkan oleh undang-undang, jusrtu mampu menafsirakan dengan luas pasal 22 itu sendiri, sehingga terkesan KPPU menjadi lembaga yang “super”, atau bisa juga karena sifat progresif  KPPU sendiri.
Dalam Pasal 35 huruf f UU No 5 Tahun 1999, bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, KPPU diperbolehkan menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan aturan tersebut. Undang undang nomor 5 tahun 1999 ini sebenarnya mempunyai berbagai kelemahan sebut saja definisi tender. KPPU menafsirkan bahwa beauty contest sama halnya dengan tender, sehingga masalah-masalah yang kemudian menyangkut beauty contest, difahami sama dengan tender, contohnya saja kasus Donggi-Senoro.
Prof Nindiyo Pramono dan Pande Radja Silalahi, dalam sebuah situs internet, mengatakan bahwa “beauty contest bukan termasuk tender”,[1] mereka justru menilai KPPU dalam menafsirkan beauty contest dan tender sama, adalah salah , namun hal ini oleh penulis lebih menitikberatkan bukan pada definisi kata semata, tapi juga lebih pada “persekongkolan” itu sendiri, Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya mengkaji pasal 22 dan dikaitan pada pedoman yang dikeluarkan KPPU, disertai dengan contoh dan beberapa hal yang terkait dengannya.

PEMBAHASAN
Hadirnya perusahaan perusahaan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama, di mulai dari adanya kehidupan belanda di Negara Indonesia ini. Perusahaan Negara atau BUMN ini dalam aktivitas ekonomi Indonesia di benarkan oleh undang undang dasar  1945, melalui pasal 33 yang berbunyi; ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, dan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan untuk kemakmuran rakyat.[2]
Kehadiran perusahaan dan pergerakan ekonomi di Indonesia yang pesat, tentunya tidak lepas dari pergerakan ekonomi yang bebas dan lepas, Kebebasan perusahaan yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hokum kemudian di atur oleh undang undang. Misalnya saja ketika suatu perusahaan dalam menjalankan kerjanya membutuhkan bahan atau beberapa tenaga dan kerjasama dari perusahaan lain, maka dalam menjalankan atau dalam hal proses kerjasama/ promosi produk itulah yang kemudian diataur dalam undang undang nomor 5 tahun 1999, tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dan kemudian dalam aturan tersebut munculah KPPU selaku badan pengawasnya, dengan tujuan agar para pelaku usaha ini menjalankan usahanya dengan jalan yang murni dan fair, bukan sebaliknya merugikan pihak lain seperti persekongkolan dan monopili.
Praktek monopoli berdasarkan pasal 1 ayat 2 undang undang nomor 5 tahun 1999 adalah, “pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.[3]
Salah satu contoh persaingan usaha yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah tender. Sebelum menela’ah definisi kata tender dan bauty contest, ada yang menarik, apakah tender sendiri itu dilarang oleh undang undang?, karena ketika memahami apakah beauty contest sama halnya dengan tender, maka pemikiran awam yang terjadi adalah, seakan-akan ada yang salah dari tender itu sendiri, padahal jelas yang di larang dalam undang undang sendiri adalah praktek persekongkolannya, seperti dalam pasal 22 tersebut.
A.    Definisi
Dalam penjelasan pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999 tentang monopoli dan persaingan tidak sehat, tender adalah suatu tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
KPPU menyatakan bahwa tender meliputi lelang saham, penjualan barang, pemilihan partner membangun property dan sebagainya.[4] Bagi KPPU, KPPU berhak melakukan perluasan pengertian “tender” sesuai dalam Pasal 36 huruf f UU No 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, dan pada pedoman Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, menjelaskan bahwa pedoman ini dibuat oleh KPPU kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan persengkongkolan dalam tender.
Namun secara terpisah dari beberapa pengertian tender, maka dapat disimpulkan bahwa tender pada intinya, merupakan sutau proses pengajuan penawaran yang dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan di lapangan sesuai dengan aturan dan dokumen yang berlaku. persekongkolan tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara.[5] Artinya pelaku usaha yang bergerak dalam bidang tender ini bukanlah menjadi masalah pada kegiatan usahanya, namun yang menjadi masalah seperti dalam undang undang tersebut adalah ketika terjadi ”persekongkolan” ,seperti yang termuat dalam pasal 22 tersebut:[6]
Maka kesimpulannya adalah bahwa tender dan beauty contest bukanlah menjadi pokok masalah sebagaimana dalam tema tulisan ini, namun penulis tetap mengambil pokok masalah/ inti pada persaingan usaha tidak sehat sebagaimana pada pasal 22 nomor 5 tahun 1999 ini yaitu “persekongkolannya”. Karena dari sekian jumlah kasus yang masuk dalam KPPU hampir 70% nya adalah kasus tender.[7]
B.     Study kasus Donggi-Senoro
Dalam hal kasus donggi senoro, KPPU menilai korporasi Jepang, Mitsubishi Corporation terbukti melakukan persengkokolan dengan PT Pertamina (persero), PT Medco International Tbk, dan PT Medco E&P Sulawesi. Hal itu dilakukan agar Mitsubishi Corp menjadi pemenang dalam beauty contest proyek LNG (Liquid Natural Gas) Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah. Hal ini melanggar Pasal 22 dan 23 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Mitsubishi juga terbukti bersengkongkol dengan Medco Int. hal ini dilakukan untuk mendapat informasi rahasia dari peserta beauty contest lain.
Atas perbuatan Pertamina di putus membayar denda Rp10 miliar, Medco Int dan Medco masing-masing didenda Rp5 miliar dan Rp1 miliar. didenda Rp15 miliar. Kasus inipun memperkuat penilaian adanya diskriminasi oleh Pertamina dan Medco kala mengundang para peserta beauty contest. Awalnya, ada tujuh peserta yang dikirimi surat undangan, namun tiga diantaranya terlambat dikirim sehingga mempengaruhi waktu persiapan mengikuti proses, Majelis menilai, TOR yang dibuat Pertamina dan Medco Int dibuat mengambang dengan tujuan agar Mitsubishi dimenangkan. Hal ini diperkuat dengan
Mengenai pelanggaran Pasal 23 UU No.5/1999, majelis berpendapat hal itu dilakukan kala Mitsubishi melakukan pertemuan dengan Medco Int dan Medco E&P Sulawesi. Majelis meyakini, Mitsubishi mendapat proposal penawaran pelapor dalam perkara No.35/KPPU-I/2010. Padahal, proposal pelapor adalah informasi rahasia. Informasi rahasia dalam perkara ini oleh majelis, dilandasi putusan majelis perkara lain, dikategorikan seperti yang diatur Pasal 2 UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Disebutkan, lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu, pada Pasal 3 UU Rahasia Dagang disebutkan, informasi semacam itu dilindungi oleh UU. “Termasuk proposal pelapor untuk mengikuti beauty contest ini,” terang anggota majelis Erwin Syahrial.
KPPU menilai bahwa, beauty contest tak beda dengan tender. Sekalipun proses itu bukan untuk pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik melainkan untuk memilih mitra kerja. KPPU berpendapat Karena proses ini dapat menciptakan kompetisi pasar, sehingga hal inipun harus tunduk pada UU No.5 Tahun 1999
C.    Pasal 22 nomor 5 tahun 1999 tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, bahwa yang menjadi pokok permaslahan dalam pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999 yaitu terletak pada persekongkolannya, karena berdampak persaingan usaha yang tidak sehat. Atas keberadaan undang undang monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, tak mampu memberi definisi dan penjelasan yang jelas serta menimbulkan tafsiran yang luas, maka lahirlah Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman penggadaan barang dan jasa, dan penjelasan lebih lanjut tentang pedoman atas pasal 23 undang undang nomor 5 tahun 1999, bahwa persekongkolan ada beberapa hal yaitu:
1.      Persekongkolan dalam tender (Pasal 22)
2.      Persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23)
3.      Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran pesaingnya (Pasal 24)
UU No. 5/1999 yang membahas tentang persekongkolan dalam tender dikenal dengan teori yang bersifat rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu diketahui apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999 memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dalam  persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. UU memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk dalam tender. maka sulit untuk menentukan bahwa dalam persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar atau tidak jika mengacu pada pengertian pasar pada UU No./1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang/jasa.[8]
Dalam pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain:[9]
1.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan.
2.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk mengadakan barang-barang.
3.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk menyediakan jasa.
Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender dengan pemilik pekerjaan.
Oleh karena itu sesuatu yang bersifat persekongkolan pada intinya menjadi persaingan tidak sehat dan justru merugikan banyak pihak dengan berbagai factor, itulah kenapa KPPU dalam hal persekongkolan tender ini betul-betul memantau jika terjadinya persaingan tidak sehat dalam bisnis usaha tertentu, maka wajar saja jika dari berbagai kasus yang masuk dalam KPPU  kebanyakan menyangkut persekongkolan tender. Lalu yang menjadi permasalahan berikutnya adalah, apakah beauty contest masuk dalam yuridiksi KPPU?. Hal ini tentunya melihat dari beberapa kasus yang masuk di KPPU justru adalah hal yang berkaitan dengan beauty contest, yang oleh KPPU dinalai sama dengan tender, sebut saja kasus Gonggi-Senoro.
Ketua lembaga persaingan dan kebijakan usaha djokoseotono reaseach centere UI, Kuni Toho, memberi definisi tentang beauty contest adalah mencari mitra bisnis yang akan bersama-sama menanggung resiko dan keuntugan,[10]sehingga menurutnya jika tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau menyediakan jasa. Sementara, beauty contest adalah mencari mitra bisnis yang akan bersama-sama menanggung risiko dan keuntungan, bukan memborong suatu pekerjaan layaknya tender, maka baginya hal ini adalah dua hal yang berbeda.[11] Sama halnya Prof Nindiyo dalam situs online mengatakan bahwa tender dan beauty contest itu berbeda.[12] Hal tersebut seiring dengan apa yang dikatakan juga oleh Pande Radja Silalahi, bahwa kedua hal tersebut itu berbeda.[13]
Melihat dari apa yang dipaparkan oleh kuni toha seperti di atas jelas bahwa kedua hal tersebut mempunyai cara kerja yang berbeda, yaitu antara pemborongan harga dan menjadi mitra bisnis pada beauty contes. Hal ini penulis melihatnya berbeda, yaitu Sesuatu yang mengakibatkan kerugian dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam bentuk apapaun, KPPU berwenang memasukkannya dalam yuridiksinya, maka hal ini, tidak hanya melihat dari definisi undang undang itu sendri, melihat kelemahan undang undang nomor 5 tahun 1999 yang cukup banyak, maka perlunya suatu teori hukum progresif dalam hal ini, agar sesuatu yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain, permainan yang curang, dan sebagainya KPPU patut untuk berfikir progresif dalam menela’ahnya. Agar tercipta persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa harus menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:[14]
  1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
  2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
  3. Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
  4. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
  5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
  6. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, mengharapkan agar permasalahan pengertian ini dapat segera diluruskan untuk menghindari pengertian ganda. Disamping itu, kasus mengenai Beauty Contest jangan hanya berfokus pada pengertian saja, namun lebih kepada pembuktian apakah persengkongkolan itu terjadi dalam kontes tersebut.[15]
Maka pentinganya rule of reason, sebagai tindakan yang memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran persekongkolan terhadap persaingan usaha adalah hal yang jauh lebih penting, dari pada sekedar membahas definisi itu sendiri, dan disinilah peran KPPU dalam pembuktiaan atas tender dan beauty contest itu diperlukan.




Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Tender dan beauty contest bukanlah menjadi pokok permasalahannya, karena hal ini hanya merupakan definisi kata semata, namun yang menjaadi pokok sebagaimana diataur dalam pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999, yakni persekongkolannya.
2.      Sehingga jika dikaitkan dengan beauty contest, maka sebagaimana pedoman KPPU berhak melakukan perluasan pengertian “tender” sesuai dalam Pasal 36 huruf f UU No 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, dan pada pedoman Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, menjelaskan bahwa pedoman ini dibuat oleh KPPU kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan persengkongkolan dalam tender.
3.      Banyaknya kelemahan yang ada dalam undang undang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, seperti dalam definisi dan aturan main tender yang tidak jelas, selain adanya pedoman yang dibuat KPPU, maka dalam hal ini, pentinganya teori hokum progresif dijalankan, agar tujuan dari pada dibuatnya undang undang tersebut dapat terealisasikan dengan baik dan bertanggung jawab, juga demi melindungi perekonomian nasional dari maraknya persaingan yang tidak sehat.


Dan dari pembahasan dan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan dua saran dari yaitu:
1.      Perlunya revisi atau yudicial revieuw atas undang undang nomor 5 tahun 1999, tentang monopoli dan persaingan tidak sehat, agar tidak ada lagi kesan KPPU yang super body, dan penafsiran ranju yang justru menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
2.      Adanya problem antara akademisi dan KPPU dalam beberapa hal, membuat akademisi yang membidangai bidang ini, justru mendapati kesan yang kurang baik, oleh karena itu, perlunya komunikasi yang diberi wadah dengan baik, agar permasalahan penafsiran dan lainnya dapat diselesaikan secara ilmiah, tanpa melihat jabatan dan kekuasaan masing masing pihak.


[2] T. mulya lubis, Hokum dan ekonomi, pustaka sinar harapan, Jakarta, 1987, hlm 60
[3]. Undang undang nomor 5 tahun 1999
[5] Keuangan Daerah: Pengadaan Barang Jasa Bisa jadi Sumber Korupsi. Kompas, 25 Feb 06, hal. 27.
[6] www.kppu.go.id
[7] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c6424cee54ac/kppu-akan-gandeng-lkpp-atasi-kasus-persekongkolan-tender
[8]http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/20/analisis-pasal-22-uu-no-5-tahun-1999-dan-karakteristik-putusan-kppu-tentang-persekongkolan-tender/ Jurnal Hukum Bisnis, Volume – No 2 – Tahun 2006.
[9] ibid
[13] Ibid.
[14] Keppres Nomor 80 Tahun 2003, Pasal 3.

17 April 2012

----- KRISIS KEPERCAYAAN-----

Sebuah kepercayaan, kesannya semua orang bisa memiliki dan menemukannya, tapi serealita itukah? saya rasa tidak, sebuah kepercayaan  tidak semudah kita mengenal orang, sebuah kepercayaan juga tidak dibangun dalam sehari bahkan sejam bertindak, tapi nilai sebuah kepercaayan yang sesungguhnya didapat dalam kurung waktu yang "mematikkan pun mejengkelkan".
Saya sebut demikian karena begitulah senyatanya, kita bisa "say hello" with other's people dengan santai dan kapan saja kita mau, tapi apakah kita langsung bisa mempercayainya?, tentu TIDAK, satu ilustrasi lagi, lalu apakah seorang kawan yang sudah kita kenal bulanan, bahkan tahunan, yang lebih "keren" belasan tahun kita bisa langsung mempercayainya?, jawaban atas hanya dua, IYA/TIDAK, dan penjelasanyapun sangatlah subyektif, dari bagaimana kita mengenal dan membahami jauh kawan tersebut.
Dan itulah yang saya rasakan beberapa bulan terakhir, lebih tepatnya  "krisis kepercayaan".
Kalimat krisis disini saya artikan secara serampangan dan subyektif skali yang artinya kekurangan dan kehausan, entahlah...apa yang semestinya. tapi krisis bagi saya sendiri sudah pada titik "malas" dan bahasanya kerennya "ogah(menjauh)", pada kata berikutnya, yaitu kepercayaan. mudah saja bagi saya untuk percaya pada siapapun, tapi akhirnya krisis itulah yang saya tidak tau bagaimana kelanjutan sikap atas keadaan itu, bagai saya, untuk sekedar kawan saja saya dianggap oleh beberapa kawan sangat "pemilih",. apalagi jika krisis itu sudah saya label-kan pada seorang kawan, saya rasa semuanya semakin sulit.
Hal-hal yang bagi orang lain tidak sesaklek itu menilai bisa jadi bagi saya adalah penilaian dan hal terpenting, karena ketika saya berusaha bahkan dengan mudahnya jujur dan percaya pada seseorang, maka rasa-rasanya tak pantas saya nilai bagi diri saya sendiri ketika orang lain sudah tak mampu jujur lagi, maka yang timbul adalah "SAYA KRISIS KEPERCAAYAN", artinya saya tak mampu memahami bahkan mempercayai lagi.
Kesanya miris memang, bahkan bisa dikatakan egois dan pikiran sempit, entahlah....dan terserah....tapi bagiku yang terbiasa jujur dan hidup lama dengan akademisi jurusan hukum, membuat saya JUJUR adalah titik pangkal kehidupan, dan berdampak signifikan bagi kehidupanku secara pribadi.

05 April 2012

PRASANGKA (KEUNTUNGAN vs KERUGIAN)

 

kali ini tulisaku bukan mengenai hukum, sedikit ingin menulis sesuatu yang bersifat antara ideal dan persepsi, terkadang manusia sering berkata "kalau-kalau/kali aja"sebagai penyenang sementara, dan sayangnya manusia  memang sebatas itu untuk membuat bukti sementaranya, contoh simpel, ketika mahasiswa mengira jika dosen yang cara mengajarnya baik, luwes, santai, senyum, dan lainnya, pasti akan mengeluarkan isi ujian yang gampang atau sampai pada tingkatan dugaan bahwa nilainya pun akan murah, atau dalam hal "rasa", manusia cendrung bersifat GR/gede rasa, dalam hal ini si perempuan ataupun laki-laki, sering menjadikan rasa yang sesaat sebagai barang bukti untuk kedepannya, misal, seorang laki-laki yang sering sms dengan bahasa yang terkesan "baik" atau perhatian dengan sms yang rentan waktunya sering, akan ada kecendrungan si perempuan mengira si laki-laki menyukainya, hal tersebut jarang di ikuti oleh logika murni, artinya melihat dari sisi sifat, asal-muasal, tujuan dan lainnya, inilah yang kemudian, menjadikan manusia sering digaluti dengan rasa"jelek", seperti kecewa, marah, sedih, dan lainnya, ketika dugaan itu salah.

jika hal ini dikaitkan dengan nilai ketuhanan, tulisan saya yang asal-salan ini akan mengemukakan difinisi yang asal-asalan juga, begini, tuhun menciptakan rasa untuk menjadikan waktu berjalan sesuai dengan rasa yang kita inginkan atau harapkan, oleh karena itu, dalam ilmu jiwa dikenal dengan "positif thingking", yang oleh islam dikenal dengan istilah husnud'zon, hal ini sebenarnya baik, hanya saja harus diikuti oleh persiapan-persiapan rasa yang tanggung jawab juga, ini lepas dari kecendrungan wanita yang begini atau begitu, atau laki-laki yang begini atau begitu, semua itu hanya bertujuan sebagi ancang-ancang kalu saja apa yang dirasakan tidak sesuai dengan keinginan kita, dalam segala hal tentunya.

namun yang menjadi menarik kemudian, ketika kita menjadikan positif dalam melihat, merasa dan melakukan itu sebagai bentuk percaya diri, terima kasih, bergerak juga bertanggung jawab, karna tidak akan mungkin, kita yang di beri kehidupan aleh gusti allah ini, hanya mempunyai rasa takut, atau meminjam bahasa pak amin yaitu sifat inlender (bukan tulisan sebenarnya/cara-baca asli^^), artinya inilah tuntutan hidup, harus optimis sekalipun harapan tak sesuai kenyataan, tetep percaya walaupun keinginan jauh tak tersentuh, dan tetap bersyukur walau impian hanya bayangan.

hal ini saya lakukan beberapa menit yang lalu ketika saya mencoba untuk memulai sesuatu yangs aya yakini akan begini dan begitu, toh tanpa saya duga rasa kecewa itu lebih dulu hadir, tanpa tau jawabnya, ternyata dalam kurung waktu (menunggu) beberapa menit itulah jawabanya, hal yang saya anggap akan menggembirakan ternyata nihil, dan tentu saya yakin kalau Tuhan memberi stok tegar yang dibungkus dengan senyum dan semangat yang tak kunjung habis,dan dengan tulisan ini, saya ingin bertanggung jawab atas apa yang diduga barusan dengan beberapa hal prasangka yang "berbau" keuntungan:

1. bahwa tentunya semua atas izin Allah swt baik ataupun buruk,

2. bahwa yang saya yakini baik bisa baik ketika terwujud, dan bisa juga buruk ketika terwujud,

3. berusaha membaikkan diri itu perlu, bahkan  harus,

4. sebagai penutup sekaligus membahagiakan diri, bahwa yang saya usahakan barusan ternyata tak bernilai karena saya jauh lebih bernilai. hee peace ^^

smoga tulisan asal-asalan ini bernilai manfaat bagi yang membaca, BERUSAHA, YAKIN, TERIMA, DAN TANGGUNG JAWAB!!!


 

01 April 2012

merindukan......^^






slalu ada cerita atas setiap gambar...........................

ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF




ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI,
 TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF
oleh: emy hajar abra


A.    PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebuah negara sebagai negara hukum adalah apa yang dilakukan oleh negara dan warga negara harus berdasarkan atas hukum. Negara tidak dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Negara terikat pada konstitusi yang merupakan jaminan hak dan kebebasan asasi manusia dan mendefinisikan lembaga negara beserta kewenangan kewenangannya.
Hal ini terkait pada beberapa waktu yang lalu, wacana revisi UU MK mewarnai pembicaraan di berbagai media elektronik ataupun cetak. Revisi UU MK yang paling sering menjadi pembicaraan mengenai “ultra petita”. Kompas memuat berita ““Larangan Buat Putusan Ultra Petita Dinilai Keliru”. Berita ini merujuk Pasal 45A RUU tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan pasal ini menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kewenangan memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Hal ini menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Keputusan soal MK tetap punya kewenangan ultra petita, hanya satu dari sekitar 16 pasal UU MK yang dimohonkan diuji materikan di MK.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari gambaran masalah di atas maka rumusan masalah yang di dapat adalah:
Bagaimana ultra petita putusan mahkamh konstitusi terhadap teori hukum progresif dan responsive?
C.    PEMBAHASAN
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Di dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik dengan digunakan ultra petita dalam beberapa putusannya.
Pengujian UU sendiri sebelumnya oleh sebagian ahli hukum tata negara masih ditentang, karena UU merupakan produk badan legislatif tertinggi, setidaknya produk 2 (dua) lembaga tinggi negara. Kalaupun bisa diuji yang berhak satu-satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Di samping itu, penolakan mereka selalu dikaitkan ajaran trias politika dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tidak dianut, bentuk negara Indonesia kesatuan, dan anggapan produk DPR dan presiden sangat mustahil inkonstitusional.
Sebaliknya yang berpandangan progresif memandang UU, termasuk Ketetapan MPR (Tap MPR) jika bertentangan dengan UUD harus dikalahkan berdasarkan hirarki norma hukum UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. UU dapat di ganggu-gugat karena bukan merupakan produk lembaga pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya produk pemegang kedaulatan hukum (legal sovereignty) kedua sehingga harus tunduk dengan produk pemegang kedaulatan hukum pertama yakni UUD 1945 dan Tap MPR.
Sejak kemerdekan Indonesia UU diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas UU dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah UU melalui pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Larangan terhadap putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.[2]
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires.  Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.[3]
Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah putusan ultra petita.
Hakim mahkamah konstitusi Akil Mochtar berpendapat, bahwa ada beberapa hal yang penting kenapa ultra petita itu dianggap perlu:
a.       Ultra petita adalah demi mengisi kekosongan hukum, agar hukum itu tidak fakum pada keadaan yang kaku.
b.      Ultra petita juga dianggap sebagai hal yang sangat demokrasi, karena menyelamatkan hak suara dari banyak kalangan.
c.       Ultra petita dirasa sangat menjawab permasalahan yang ada belakangan ini, dan juga sebagai bahan jawaban bahwa hukum itu dinamis dan mampu menjawab permasalahan yang ada.
a.      MK DAN PENEMUAN HUKUM
Kelaziman dalam teori, badan legislatif tugasnya menciptakan hukum, sedangkan pengadilan menjalankan hukum dan kadang-kadang menemukan hukum yang sebenarnya pemisahan tidak mutlak benar. Akan tetapi sebagaimana Wirjono semua doktrin menunjukkan relativitasnya. Begitu juga berdasarkan UUD, di samping MK menjalankan kewenangan konstitusional (asli) termasuk pengujian UU, di sisi lain berdasarkan UU MK diberikan kewenangan membentuk hukum dalam Peraturan Mahkamah Konstititusi (PMK) dan kewenangan administratif sebagaimana kekuasaan MA.
Ultra petita menjadi kontroversial di masyarakat disebabkan dalam ketentuan peraturan sendiri tidak ditentukan. Pendapat menentang karena belum ditegaskan dalam UU, menurut Moh. Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumennya menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut UU.
Dengan demikian hakim di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut hukum sesuai negara hukum, bukan hanya peraturan tertulis akan tetapi hukum tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya “corong UU”, kalaupun sebagai mulut UU karena kebebasannya menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil. Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi adalah subyek penemuan hukum yang utama.

b.      “ULTRA PETITA” DAN BATAS-BATAS KEKUASAAN MK
Bukan berarti MK kekuasaannya “tanpa batas”, sebagaimana praktik MPR berdasar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal 24C UUD 1945 telah membatasi kekuasaan MK. Kewenangan mengatur (regeling) tetap merupakan domain legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai hak eksklusif wakil-wakil rakyat yang berdaulat untuk membatasi seseorang (presumption of liberty of the souvereign people). Kekuasaan lain dapat mengatur sepanjang atas mandatnya. Selain vonis yang dijatuhkan, MK juga berkuasa dalam regulasi (judicial legislation) sebagaimana MA.
UU MK menegaskan jika materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU inkonstitusional, MK hanya dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). MK tidak dapat membatalkan berlakunya UU (vernietigingsrecht) dan begitu juga tidak dapat merubah rumusan redaksi ayat, pasal atau bagian UU, apalagi memproduksi UU. Artinya hukum acara masih dalam batas, karena tidak memasuki ranah legislatif.
Kekuasaan MK terbatas sesuai kedudukan dan fungsinya. Hubungannya dengan kekuasaan lain diikat prinsip checks and balances. Diterimanya ultra petita di MK pertimbangan hukumnya seharusnya ditindaklanjuti DPR dan presiden menegaskannya dalam produk UU. Pembentukan UU tidak selayaknya mengkerdilkan kewenanganya sebagai lembaga penjaga konstitusi. MK berhak menunjuk hukum yang benar sesuai UUD 1945 dalam kasus yang ditanganinya, seperti MA menyisihkan atau menyingkirkan peraturan (to set aside) yang inkonstitusional sebagai inhaerent aan de rechterlijke werkzaamheid (tak terpisahkan dari karya hakim).


D.    LANDASAN TEORI
1.      Hukum Progresif (Grand theory)
Satjipto Raharjo, merupakan pakar yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresi.[4] Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum" di Indonesia. Progresif berasal dari kata  progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti  perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[5]  Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[6]
Hukum progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[7]
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk member keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.[8] Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya.[9] Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain,  sebagaimana akan diuraikan di bawah ini:[10]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar  manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan  status quo dalam berhukum. Mempertahankan  status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang  berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan  dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.  
2.      Hukum Responsif (Middle Theory)
Hukum Responsif adalah teory yang digagas oleh Selznick di tengah kritik pedas terhadap liberal legism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan hukuum sebagai institusi mandiri dengan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Sebenarnya dibalik doktrin otonomi hukum, tersembunyi ideology status quo. Dan status quo merupakan benteng perlindungan bagi orang-orang mapan, orang-orang berpunya. Ditengah kritik atas realitas krisis otoritas hukum itulah, Nonet-Selznick mengajukan hukum responsif.[11] Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari  semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposive (berorientasikan tujuan).
            Lewat hukum responsive, ia menempatkan hukum sebagai  sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi public. Dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi public.[12] Pada intinya aliran ini lebih mengedepankan kajian hukum yang lebih empirik melempaui batas-batas formalism, perluasan pengetahuan hukum dan peran kebijakan dalam putusan hukum.[13]
           


E.     ANALISIS
Hukum sebagai sebuah perangkat lunak yang bekerja dalam sebuah sistem. Sistem yang terintegrasi dengan sebuah perangkat keras (hardware) yakni para aparat penegak hukum. Sebagai sebuah rangkaian kerja yang saling memiliki keterkaitan antara hukum dengan perangkat hukum hendaknya dapat berjalan sesuai komando dari user/pengguna hukum. Jika diibaratkan sebagai sebuah rangkaian komputer maka hukum adalah sistem operasi yang ada dalam komputer tersebut.
Ultra petita sangat sesuai sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif seperti dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.
Maka dengan hadirnya teori hukum progresif dan responsive, dirasa sangat sesuai dan mempengaruhi beberapa pandangan bahwa hukum itu kaku dan hanya berkutat pada aturan yang ada saja, namun kedua teori ini justru hadir dengan keyakinan bahwa hukum mampu menjawab permaslahan yang ada, salah satu contohnya seperti kasus ultra petita diatas, bahwa keberadaan MK yang salah satu tugasnya adalah menguji undang undang atas UUD 1945 dengan pelaksaan ultra petita dirasa sangat mengakomodir permasalahan yang kian berkembang dan mampu menjawabnya tanpa terjadi inkostitusional.

F.     KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditari beberapa kesimpulan:
1.      Keberadaan ultra petita yang sampai hari ini masih menjadi problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima sebagai bahan yang menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah bermuara pada satu tujuan yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan para pembeda pemikir itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli atas terjadinya aturan hukum yang baik pula.
2.      Sekalipun banyaknya pandangan tersebut diatas, namun keberadaan ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang sangat berargumentasi tajam atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab oleh hukum itu sendiri, dan ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
3.      Teori hukum progresif dan responsive yang kelompok kami bawakan adalah bentuk real yang cukup menguatkan bahwa hukum itu tidak kaku yang berada diruang yang fakum, namun hukum itu dinamis yang cukup mampu menjawab permasalahan perkembangan kehidupan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
2.      Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006.
3.      Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
4.      Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
5.      Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
6.      Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801
7.      Ultra Petita” http://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
10.  http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia.


[2] Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.
[3] Ibid.
[4] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006, hlm. ix
[6] Ibid, hlm 10-11
[7] Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
[8] Ibid
[9] http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia
[10] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
[11] Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
[12] ibid
[13] ibid