ULTRA
PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI,
TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF
oleh: emy hajar abra
oleh: emy hajar abra
A. PENDAHULUAN
Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi
sebuah negara sebagai negara hukum adalah apa yang dilakukan oleh negara dan
warga negara harus berdasarkan atas hukum. Negara tidak dapat melakukan
tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Negara terikat pada konstitusi
yang merupakan jaminan hak dan kebebasan asasi manusia dan mendefinisikan
lembaga negara beserta kewenangan kewenangannya.
Hal
ini terkait pada beberapa waktu yang lalu, wacana revisi UU MK mewarnai pembicaraan
di berbagai media elektronik ataupun cetak. Revisi UU MK yang paling sering
menjadi pembicaraan mengenai “ultra petita”. Kompas memuat berita ““Larangan
Buat Putusan Ultra Petita Dinilai Keliru”. Berita ini merujuk Pasal 45A RUU
tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan
pasal ini menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar
putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon,
kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Mahkamah
Konstitusi tetap memiliki kewenangan memutus perkara melebihi yang dimohonkan
(ultra petita). Hal ini menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK),
dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi. Keputusan soal MK tetap punya kewenangan ultra petita, hanya satu
dari sekitar 16 pasal UU MK yang dimohonkan diuji materikan di MK.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
gambaran masalah di atas maka rumusan masalah yang di dapat adalah:
Bagaimana ultra petita
putusan mahkamh konstitusi terhadap teori hukum progresif dan responsive?
C. PEMBAHASAN
Ultra petita
dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang
tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita
menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Di dalam perkara
pengujian Undang-Undang (UU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik
dengan digunakan ultra petita dalam beberapa putusannya.
Pengujian UU sendiri
sebelumnya oleh sebagian ahli hukum tata negara masih ditentang, karena UU
merupakan produk badan legislatif tertinggi, setidaknya produk 2 (dua) lembaga
tinggi negara. Kalaupun bisa diuji yang berhak satu-satunya adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Di samping itu,
penolakan mereka selalu dikaitkan ajaran trias politika dengan pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang tidak dianut, bentuk negara
Indonesia kesatuan, dan anggapan produk DPR dan presiden sangat mustahil inkonstitusional.
Sebaliknya yang
berpandangan progresif memandang UU, termasuk Ketetapan MPR (Tap MPR) jika
bertentangan dengan UUD harus dikalahkan berdasarkan hirarki norma hukum UUD
1945 sebagai hukum tertinggi. UU dapat di ganggu-gugat karena bukan merupakan
produk lembaga pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya produk pemegang kedaulatan
hukum (legal sovereignty) kedua sehingga harus tunduk dengan produk pemegang
kedaulatan hukum pertama yakni UUD 1945 dan Tap MPR.
Sejak kemerdekan
Indonesia UU diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas
UU dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji
dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji
konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal
dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan
praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah UU melalui
pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Larangan terhadap
putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata.
Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3)
RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum).
Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang
melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang
dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan
Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang.
Hukum
acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu.
Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan
perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan
tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata.
Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim
hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang
didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non
cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan
dibuktikan para pemohon atau penggugat.[2]
Hakim
yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra
vires. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat
meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai
kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra
petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.[3]
Dapat
dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal tersebut
menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan prosedural. Hal
ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan serta keadaan
hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan fakta bahwa
sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah putusan ultra
petita.
Hakim mahkamah
konstitusi Akil Mochtar berpendapat, bahwa ada beberapa hal yang penting kenapa
ultra petita itu dianggap perlu:
a.
Ultra petita adalah demi mengisi
kekosongan hukum, agar hukum itu tidak fakum pada keadaan yang kaku.
b.
Ultra petita juga dianggap sebagai hal
yang sangat demokrasi, karena menyelamatkan hak suara dari banyak kalangan.
c.
Ultra petita dirasa sangat menjawab
permasalahan yang ada belakangan ini, dan juga sebagai bahan jawaban bahwa
hukum itu dinamis dan mampu menjawab permasalahan yang ada.
a.
MK
DAN PENEMUAN HUKUM
Kelaziman dalam teori,
badan legislatif tugasnya menciptakan hukum, sedangkan pengadilan menjalankan
hukum dan kadang-kadang menemukan hukum yang sebenarnya pemisahan tidak mutlak
benar. Akan tetapi sebagaimana Wirjono semua doktrin menunjukkan
relativitasnya. Begitu juga berdasarkan UUD, di samping MK menjalankan
kewenangan konstitusional (asli) termasuk pengujian UU, di sisi lain
berdasarkan UU MK diberikan kewenangan membentuk hukum dalam Peraturan Mahkamah
Konstititusi (PMK) dan kewenangan administratif sebagaimana kekuasaan MA.
Ultra petita menjadi
kontroversial di masyarakat disebabkan dalam ketentuan peraturan sendiri tidak
ditentukan. Pendapat menentang karena belum ditegaskan dalam UU, menurut Moh.
Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam
kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumennya menurut logika
pilihannya sendiri, bukan menurut UU.
Dengan demikian hakim
di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU
No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut hukum sesuai negara hukum, bukan hanya
peraturan tertulis akan tetapi hukum tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya
“corong UU”, kalaupun sebagai mulut UU karena kebebasannya menemukan hukum
(rechtsvinding) yang dianggap adil. Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus
menemukan hukum, jika tidak menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari
hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat. Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi
adalah subyek penemuan hukum yang utama.
b.
“ULTRA
PETITA” DAN BATAS-BATAS KEKUASAAN MK
Bukan berarti MK
kekuasaannya “tanpa batas”, sebagaimana praktik MPR berdasar Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal 24C UUD 1945 telah membatasi kekuasaan MK.
Kewenangan mengatur (regeling) tetap merupakan domain legislatif
berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai hak eksklusif wakil-wakil rakyat
yang berdaulat untuk membatasi seseorang (presumption of liberty of the
souvereign people). Kekuasaan lain dapat mengatur sepanjang atas mandatnya.
Selain vonis yang dijatuhkan, MK juga berkuasa dalam regulasi (judicial
legislation) sebagaimana MA.
UU MK menegaskan jika
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU inkonstitusional, MK hanya
dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally
binding). MK tidak dapat membatalkan berlakunya UU (vernietigingsrecht)
dan begitu juga tidak dapat merubah rumusan redaksi ayat, pasal atau bagian UU,
apalagi memproduksi UU. Artinya hukum acara masih dalam batas, karena tidak
memasuki ranah legislatif.
Kekuasaan MK terbatas
sesuai kedudukan dan fungsinya. Hubungannya dengan kekuasaan lain diikat
prinsip checks and balances. Diterimanya ultra petita di MK pertimbangan
hukumnya seharusnya ditindaklanjuti DPR dan presiden menegaskannya dalam produk
UU. Pembentukan UU tidak selayaknya mengkerdilkan kewenanganya sebagai lembaga
penjaga konstitusi. MK berhak menunjuk hukum yang benar sesuai UUD 1945 dalam
kasus yang ditanganinya, seperti MA menyisihkan atau menyingkirkan peraturan (to
set aside) yang inkonstitusional sebagai inhaerent aan de rechterlijke
werkzaamheid (tak terpisahkan dari karya hakim).
D. LANDASAN TEORI
1. Hukum Progresif (Grand theory)
Satjipto
Raharjo, merupakan pakar yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresi.[4]
Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi
“kelumpuhan hukum" di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan
zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta
mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber
daya manusia penegak hukum itu sendiri.[5] Satjipto
Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja
dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme
dengan sifat formalitasnya yang melekat.[6]
Hukum
progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan
menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan
keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan
dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para
penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[7]
Menghadapi
suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak
hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali
dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk member
keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.[8] Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan,
melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade
terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan
hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan
bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya.[9]
Berdasarkan
uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti
positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan yang lain,
sebagaimana akan diuraikan di bawah ini:[10]
Pertama,
paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”.
Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu
yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat
perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar
manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk
hukum.
Kedua,
hukum progresif menolak untuk mempertahankan
status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti
pada waktu orang berpendapat, bahwa
hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.
Ketiga,
apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan
risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi
tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan
dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat
menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.
2. Hukum Responsif (Middle Theory)
Hukum
Responsif adalah teory yang digagas oleh Selznick di tengah kritik pedas
terhadap liberal legism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan
hukuum sebagai institusi mandiri dengan system peraturan dan prosedur yang
objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Sebenarnya dibalik doktrin
otonomi hukum, tersembunyi ideology status
quo. Dan status quo merupakan benteng perlindungan bagi orang-orang mapan,
orang-orang berpunya. Ditengah kritik atas realitas krisis otoritas hukum
itulah, Nonet-Selznick mengajukan hukum responsif.[11]
Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif.
Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat
fungsional, pragmatis, dan semangat purposive (berorientasikan tujuan).
Lewat
hukum responsive, ia menempatkan hukum sebagai
sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi public.
Dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk
menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi
public.[12]
Pada intinya aliran ini lebih mengedepankan kajian hukum yang lebih empirik
melempaui batas-batas formalism, perluasan pengetahuan hukum dan peran
kebijakan dalam putusan hukum.[13]
E. ANALISIS
Hukum
sebagai sebuah perangkat lunak yang bekerja dalam sebuah sistem. Sistem yang
terintegrasi dengan sebuah perangkat keras (hardware) yakni para aparat penegak
hukum. Sebagai sebuah rangkaian kerja yang saling memiliki keterkaitan antara
hukum dengan perangkat hukum hendaknya dapat berjalan sesuai komando dari
user/pengguna hukum. Jika diibaratkan sebagai sebuah rangkaian komputer maka
hukum adalah sistem operasi yang ada dalam komputer tersebut.
Ultra petita sangat
sesuai sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim
tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif seperti dalam
hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU
dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun
hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh
dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional
yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.
Maka
dengan hadirnya teori hukum progresif dan responsive, dirasa sangat sesuai dan
mempengaruhi beberapa pandangan bahwa hukum itu kaku dan hanya berkutat pada
aturan yang ada saja, namun kedua teori ini justru hadir dengan keyakinan bahwa
hukum mampu menjawab permaslahan yang ada, salah satu contohnya seperti kasus
ultra petita diatas, bahwa keberadaan MK yang salah satu tugasnya adalah
menguji undang undang atas UUD 1945 dengan pelaksaan ultra petita dirasa sangat
mengakomodir permasalahan yang kian berkembang dan mampu menjawabnya tanpa
terjadi inkostitusional.
F. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditari
beberapa kesimpulan:
1.
Keberadaan ultra petita yang sampai hari
ini masih menjadi problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima
sebagai bahan yang menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah
bermuara pada satu tujuan yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan
para pembeda pemikir itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli
atas terjadinya aturan hukum yang baik pula.
2.
Sekalipun banyaknya pandangan tersebut
diatas, namun keberadaan ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang
sangat berargumentasi tajam atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab
oleh hukum itu sendiri, dan ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
3.
Teori hukum progresif dan responsive
yang kelompok kami bawakan adalah bentuk real yang cukup menguatkan bahwa hukum
itu tidak kaku yang berada diruang yang fakum, namun hukum itu dinamis yang
cukup mampu menjawab permasalahan perkembangan kehidupan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Gagasan dimaksud pertama kali
dilontarkan pada 2002 lewat sebuah
artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan
Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
2.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum
Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006.
3.
Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi
Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005,
hlm. 186
4.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum
Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
5.
Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi
Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3,
Yogyakarta, 2010.
6.
Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara
Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801
7.
Ultra Petita” http://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
9.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6024.
Akses 23 januari 2011
10. http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia.
[1]
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6024.
Akses 23 januari 2012
[2]
Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm.
801.
[3]
Ibid.
[4]
Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian
Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15
Juni 2002
[5]
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006,
hlm. ix
[6]
Ibid, hlm 10-11
[7] Sudijono
Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
[8]
Ibid
[10] Satjipto
Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
[11]
Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta
publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
[12]
ibid
[13]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar