01 April 2012

ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF




ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI,
 TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF
oleh: emy hajar abra


A.    PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebuah negara sebagai negara hukum adalah apa yang dilakukan oleh negara dan warga negara harus berdasarkan atas hukum. Negara tidak dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Negara terikat pada konstitusi yang merupakan jaminan hak dan kebebasan asasi manusia dan mendefinisikan lembaga negara beserta kewenangan kewenangannya.
Hal ini terkait pada beberapa waktu yang lalu, wacana revisi UU MK mewarnai pembicaraan di berbagai media elektronik ataupun cetak. Revisi UU MK yang paling sering menjadi pembicaraan mengenai “ultra petita”. Kompas memuat berita ““Larangan Buat Putusan Ultra Petita Dinilai Keliru”. Berita ini merujuk Pasal 45A RUU tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan pasal ini menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kewenangan memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Hal ini menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Keputusan soal MK tetap punya kewenangan ultra petita, hanya satu dari sekitar 16 pasal UU MK yang dimohonkan diuji materikan di MK.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari gambaran masalah di atas maka rumusan masalah yang di dapat adalah:
Bagaimana ultra petita putusan mahkamh konstitusi terhadap teori hukum progresif dan responsive?
C.    PEMBAHASAN
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Di dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik dengan digunakan ultra petita dalam beberapa putusannya.
Pengujian UU sendiri sebelumnya oleh sebagian ahli hukum tata negara masih ditentang, karena UU merupakan produk badan legislatif tertinggi, setidaknya produk 2 (dua) lembaga tinggi negara. Kalaupun bisa diuji yang berhak satu-satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Di samping itu, penolakan mereka selalu dikaitkan ajaran trias politika dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tidak dianut, bentuk negara Indonesia kesatuan, dan anggapan produk DPR dan presiden sangat mustahil inkonstitusional.
Sebaliknya yang berpandangan progresif memandang UU, termasuk Ketetapan MPR (Tap MPR) jika bertentangan dengan UUD harus dikalahkan berdasarkan hirarki norma hukum UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. UU dapat di ganggu-gugat karena bukan merupakan produk lembaga pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya produk pemegang kedaulatan hukum (legal sovereignty) kedua sehingga harus tunduk dengan produk pemegang kedaulatan hukum pertama yakni UUD 1945 dan Tap MPR.
Sejak kemerdekan Indonesia UU diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas UU dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah UU melalui pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Larangan terhadap putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.[2]
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires.  Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.[3]
Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah putusan ultra petita.
Hakim mahkamah konstitusi Akil Mochtar berpendapat, bahwa ada beberapa hal yang penting kenapa ultra petita itu dianggap perlu:
a.       Ultra petita adalah demi mengisi kekosongan hukum, agar hukum itu tidak fakum pada keadaan yang kaku.
b.      Ultra petita juga dianggap sebagai hal yang sangat demokrasi, karena menyelamatkan hak suara dari banyak kalangan.
c.       Ultra petita dirasa sangat menjawab permasalahan yang ada belakangan ini, dan juga sebagai bahan jawaban bahwa hukum itu dinamis dan mampu menjawab permasalahan yang ada.
a.      MK DAN PENEMUAN HUKUM
Kelaziman dalam teori, badan legislatif tugasnya menciptakan hukum, sedangkan pengadilan menjalankan hukum dan kadang-kadang menemukan hukum yang sebenarnya pemisahan tidak mutlak benar. Akan tetapi sebagaimana Wirjono semua doktrin menunjukkan relativitasnya. Begitu juga berdasarkan UUD, di samping MK menjalankan kewenangan konstitusional (asli) termasuk pengujian UU, di sisi lain berdasarkan UU MK diberikan kewenangan membentuk hukum dalam Peraturan Mahkamah Konstititusi (PMK) dan kewenangan administratif sebagaimana kekuasaan MA.
Ultra petita menjadi kontroversial di masyarakat disebabkan dalam ketentuan peraturan sendiri tidak ditentukan. Pendapat menentang karena belum ditegaskan dalam UU, menurut Moh. Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumennya menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut UU.
Dengan demikian hakim di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut hukum sesuai negara hukum, bukan hanya peraturan tertulis akan tetapi hukum tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya “corong UU”, kalaupun sebagai mulut UU karena kebebasannya menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil. Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi adalah subyek penemuan hukum yang utama.

b.      “ULTRA PETITA” DAN BATAS-BATAS KEKUASAAN MK
Bukan berarti MK kekuasaannya “tanpa batas”, sebagaimana praktik MPR berdasar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal 24C UUD 1945 telah membatasi kekuasaan MK. Kewenangan mengatur (regeling) tetap merupakan domain legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai hak eksklusif wakil-wakil rakyat yang berdaulat untuk membatasi seseorang (presumption of liberty of the souvereign people). Kekuasaan lain dapat mengatur sepanjang atas mandatnya. Selain vonis yang dijatuhkan, MK juga berkuasa dalam regulasi (judicial legislation) sebagaimana MA.
UU MK menegaskan jika materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU inkonstitusional, MK hanya dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). MK tidak dapat membatalkan berlakunya UU (vernietigingsrecht) dan begitu juga tidak dapat merubah rumusan redaksi ayat, pasal atau bagian UU, apalagi memproduksi UU. Artinya hukum acara masih dalam batas, karena tidak memasuki ranah legislatif.
Kekuasaan MK terbatas sesuai kedudukan dan fungsinya. Hubungannya dengan kekuasaan lain diikat prinsip checks and balances. Diterimanya ultra petita di MK pertimbangan hukumnya seharusnya ditindaklanjuti DPR dan presiden menegaskannya dalam produk UU. Pembentukan UU tidak selayaknya mengkerdilkan kewenanganya sebagai lembaga penjaga konstitusi. MK berhak menunjuk hukum yang benar sesuai UUD 1945 dalam kasus yang ditanganinya, seperti MA menyisihkan atau menyingkirkan peraturan (to set aside) yang inkonstitusional sebagai inhaerent aan de rechterlijke werkzaamheid (tak terpisahkan dari karya hakim).


D.    LANDASAN TEORI
1.      Hukum Progresif (Grand theory)
Satjipto Raharjo, merupakan pakar yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresi.[4] Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum" di Indonesia. Progresif berasal dari kata  progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti  perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[5]  Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[6]
Hukum progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[7]
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk member keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.[8] Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya.[9] Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain,  sebagaimana akan diuraikan di bawah ini:[10]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar  manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan  status quo dalam berhukum. Mempertahankan  status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang  berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan  dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.  
2.      Hukum Responsif (Middle Theory)
Hukum Responsif adalah teory yang digagas oleh Selznick di tengah kritik pedas terhadap liberal legism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan hukuum sebagai institusi mandiri dengan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Sebenarnya dibalik doktrin otonomi hukum, tersembunyi ideology status quo. Dan status quo merupakan benteng perlindungan bagi orang-orang mapan, orang-orang berpunya. Ditengah kritik atas realitas krisis otoritas hukum itulah, Nonet-Selznick mengajukan hukum responsif.[11] Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari  semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposive (berorientasikan tujuan).
            Lewat hukum responsive, ia menempatkan hukum sebagai  sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi public. Dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi public.[12] Pada intinya aliran ini lebih mengedepankan kajian hukum yang lebih empirik melempaui batas-batas formalism, perluasan pengetahuan hukum dan peran kebijakan dalam putusan hukum.[13]
           


E.     ANALISIS
Hukum sebagai sebuah perangkat lunak yang bekerja dalam sebuah sistem. Sistem yang terintegrasi dengan sebuah perangkat keras (hardware) yakni para aparat penegak hukum. Sebagai sebuah rangkaian kerja yang saling memiliki keterkaitan antara hukum dengan perangkat hukum hendaknya dapat berjalan sesuai komando dari user/pengguna hukum. Jika diibaratkan sebagai sebuah rangkaian komputer maka hukum adalah sistem operasi yang ada dalam komputer tersebut.
Ultra petita sangat sesuai sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif seperti dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.
Maka dengan hadirnya teori hukum progresif dan responsive, dirasa sangat sesuai dan mempengaruhi beberapa pandangan bahwa hukum itu kaku dan hanya berkutat pada aturan yang ada saja, namun kedua teori ini justru hadir dengan keyakinan bahwa hukum mampu menjawab permaslahan yang ada, salah satu contohnya seperti kasus ultra petita diatas, bahwa keberadaan MK yang salah satu tugasnya adalah menguji undang undang atas UUD 1945 dengan pelaksaan ultra petita dirasa sangat mengakomodir permasalahan yang kian berkembang dan mampu menjawabnya tanpa terjadi inkostitusional.

F.     KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditari beberapa kesimpulan:
1.      Keberadaan ultra petita yang sampai hari ini masih menjadi problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima sebagai bahan yang menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah bermuara pada satu tujuan yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan para pembeda pemikir itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli atas terjadinya aturan hukum yang baik pula.
2.      Sekalipun banyaknya pandangan tersebut diatas, namun keberadaan ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang sangat berargumentasi tajam atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab oleh hukum itu sendiri, dan ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
3.      Teori hukum progresif dan responsive yang kelompok kami bawakan adalah bentuk real yang cukup menguatkan bahwa hukum itu tidak kaku yang berada diruang yang fakum, namun hukum itu dinamis yang cukup mampu menjawab permasalahan perkembangan kehidupan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
2.      Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006.
3.      Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
4.      Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
5.      Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
6.      Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801
7.      Ultra Petita” http://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
10.  http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia.


[2] Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.
[3] Ibid.
[4] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006, hlm. ix
[6] Ibid, hlm 10-11
[7] Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
[8] Ibid
[9] http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia
[10] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
[11] Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
[12] ibid
[13] ibid

Tidak ada komentar: