08 Desember 2012

BEAUTY CONTEST VS TENDER TINJAUAN PASAL 22 UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999


Beauty contest dan tender adalah salah satu dari berbagai cara yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha, namun hal tersebut bisa salah ketika proses kegiatannya justru memonopoli dan terjadi persaingan usaha yang tidak sehat, dan hal tersebut yang menjadi pokok permasalahan pada tulisan ini, KPPU selaku komisi independen yang di amanahkan oleh undang-undang, jusrtu mampu menafsirakan dengan luas pasal 22 itu sendiri, sehingga terkesan KPPU menjadi lembaga yang “super”, atau bisa juga karena sifat progresif  KPPU sendiri.
Dalam Pasal 35 huruf f UU No 5 Tahun 1999, bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, KPPU diperbolehkan menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan aturan tersebut. Undang undang nomor 5 tahun 1999 ini sebenarnya mempunyai berbagai kelemahan sebut saja definisi tender. KPPU menafsirkan bahwa beauty contest sama halnya dengan tender, sehingga masalah-masalah yang kemudian menyangkut beauty contest, difahami sama dengan tender, contohnya saja kasus Donggi-Senoro.
Prof Nindiyo Pramono dan Pande Radja Silalahi, dalam sebuah situs internet, mengatakan bahwa “beauty contest bukan termasuk tender”,[1] mereka justru menilai KPPU dalam menafsirkan beauty contest dan tender sama, adalah salah , namun hal ini oleh penulis lebih menitikberatkan bukan pada definisi kata semata, tapi juga lebih pada “persekongkolan” itu sendiri, Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya mengkaji pasal 22 dan dikaitan pada pedoman yang dikeluarkan KPPU, disertai dengan contoh dan beberapa hal yang terkait dengannya.

PEMBAHASAN
Hadirnya perusahaan perusahaan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama, di mulai dari adanya kehidupan belanda di Negara Indonesia ini. Perusahaan Negara atau BUMN ini dalam aktivitas ekonomi Indonesia di benarkan oleh undang undang dasar  1945, melalui pasal 33 yang berbunyi; ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, dan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan untuk kemakmuran rakyat.[2]
Kehadiran perusahaan dan pergerakan ekonomi di Indonesia yang pesat, tentunya tidak lepas dari pergerakan ekonomi yang bebas dan lepas, Kebebasan perusahaan yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hokum kemudian di atur oleh undang undang. Misalnya saja ketika suatu perusahaan dalam menjalankan kerjanya membutuhkan bahan atau beberapa tenaga dan kerjasama dari perusahaan lain, maka dalam menjalankan atau dalam hal proses kerjasama/ promosi produk itulah yang kemudian diataur dalam undang undang nomor 5 tahun 1999, tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dan kemudian dalam aturan tersebut munculah KPPU selaku badan pengawasnya, dengan tujuan agar para pelaku usaha ini menjalankan usahanya dengan jalan yang murni dan fair, bukan sebaliknya merugikan pihak lain seperti persekongkolan dan monopili.
Praktek monopoli berdasarkan pasal 1 ayat 2 undang undang nomor 5 tahun 1999 adalah, “pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.[3]
Salah satu contoh persaingan usaha yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah tender. Sebelum menela’ah definisi kata tender dan bauty contest, ada yang menarik, apakah tender sendiri itu dilarang oleh undang undang?, karena ketika memahami apakah beauty contest sama halnya dengan tender, maka pemikiran awam yang terjadi adalah, seakan-akan ada yang salah dari tender itu sendiri, padahal jelas yang di larang dalam undang undang sendiri adalah praktek persekongkolannya, seperti dalam pasal 22 tersebut.
A.    Definisi
Dalam penjelasan pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999 tentang monopoli dan persaingan tidak sehat, tender adalah suatu tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
KPPU menyatakan bahwa tender meliputi lelang saham, penjualan barang, pemilihan partner membangun property dan sebagainya.[4] Bagi KPPU, KPPU berhak melakukan perluasan pengertian “tender” sesuai dalam Pasal 36 huruf f UU No 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, dan pada pedoman Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, menjelaskan bahwa pedoman ini dibuat oleh KPPU kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan persengkongkolan dalam tender.
Namun secara terpisah dari beberapa pengertian tender, maka dapat disimpulkan bahwa tender pada intinya, merupakan sutau proses pengajuan penawaran yang dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan di lapangan sesuai dengan aturan dan dokumen yang berlaku. persekongkolan tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara.[5] Artinya pelaku usaha yang bergerak dalam bidang tender ini bukanlah menjadi masalah pada kegiatan usahanya, namun yang menjadi masalah seperti dalam undang undang tersebut adalah ketika terjadi ”persekongkolan” ,seperti yang termuat dalam pasal 22 tersebut:[6]
Maka kesimpulannya adalah bahwa tender dan beauty contest bukanlah menjadi pokok masalah sebagaimana dalam tema tulisan ini, namun penulis tetap mengambil pokok masalah/ inti pada persaingan usaha tidak sehat sebagaimana pada pasal 22 nomor 5 tahun 1999 ini yaitu “persekongkolannya”. Karena dari sekian jumlah kasus yang masuk dalam KPPU hampir 70% nya adalah kasus tender.[7]
B.     Study kasus Donggi-Senoro
Dalam hal kasus donggi senoro, KPPU menilai korporasi Jepang, Mitsubishi Corporation terbukti melakukan persengkokolan dengan PT Pertamina (persero), PT Medco International Tbk, dan PT Medco E&P Sulawesi. Hal itu dilakukan agar Mitsubishi Corp menjadi pemenang dalam beauty contest proyek LNG (Liquid Natural Gas) Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah. Hal ini melanggar Pasal 22 dan 23 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Mitsubishi juga terbukti bersengkongkol dengan Medco Int. hal ini dilakukan untuk mendapat informasi rahasia dari peserta beauty contest lain.
Atas perbuatan Pertamina di putus membayar denda Rp10 miliar, Medco Int dan Medco masing-masing didenda Rp5 miliar dan Rp1 miliar. didenda Rp15 miliar. Kasus inipun memperkuat penilaian adanya diskriminasi oleh Pertamina dan Medco kala mengundang para peserta beauty contest. Awalnya, ada tujuh peserta yang dikirimi surat undangan, namun tiga diantaranya terlambat dikirim sehingga mempengaruhi waktu persiapan mengikuti proses, Majelis menilai, TOR yang dibuat Pertamina dan Medco Int dibuat mengambang dengan tujuan agar Mitsubishi dimenangkan. Hal ini diperkuat dengan
Mengenai pelanggaran Pasal 23 UU No.5/1999, majelis berpendapat hal itu dilakukan kala Mitsubishi melakukan pertemuan dengan Medco Int dan Medco E&P Sulawesi. Majelis meyakini, Mitsubishi mendapat proposal penawaran pelapor dalam perkara No.35/KPPU-I/2010. Padahal, proposal pelapor adalah informasi rahasia. Informasi rahasia dalam perkara ini oleh majelis, dilandasi putusan majelis perkara lain, dikategorikan seperti yang diatur Pasal 2 UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Disebutkan, lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu, pada Pasal 3 UU Rahasia Dagang disebutkan, informasi semacam itu dilindungi oleh UU. “Termasuk proposal pelapor untuk mengikuti beauty contest ini,” terang anggota majelis Erwin Syahrial.
KPPU menilai bahwa, beauty contest tak beda dengan tender. Sekalipun proses itu bukan untuk pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik melainkan untuk memilih mitra kerja. KPPU berpendapat Karena proses ini dapat menciptakan kompetisi pasar, sehingga hal inipun harus tunduk pada UU No.5 Tahun 1999
C.    Pasal 22 nomor 5 tahun 1999 tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, bahwa yang menjadi pokok permaslahan dalam pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999 yaitu terletak pada persekongkolannya, karena berdampak persaingan usaha yang tidak sehat. Atas keberadaan undang undang monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, tak mampu memberi definisi dan penjelasan yang jelas serta menimbulkan tafsiran yang luas, maka lahirlah Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman penggadaan barang dan jasa, dan penjelasan lebih lanjut tentang pedoman atas pasal 23 undang undang nomor 5 tahun 1999, bahwa persekongkolan ada beberapa hal yaitu:
1.      Persekongkolan dalam tender (Pasal 22)
2.      Persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23)
3.      Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran pesaingnya (Pasal 24)
UU No. 5/1999 yang membahas tentang persekongkolan dalam tender dikenal dengan teori yang bersifat rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu diketahui apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999 memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dalam  persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. UU memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk dalam tender. maka sulit untuk menentukan bahwa dalam persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar atau tidak jika mengacu pada pengertian pasar pada UU No./1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang/jasa.[8]
Dalam pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain:[9]
1.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan.
2.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk mengadakan barang-barang.
3.      tawaran mengajukan harga (terendah) untuk menyediakan jasa.
Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender dengan pemilik pekerjaan.
Oleh karena itu sesuatu yang bersifat persekongkolan pada intinya menjadi persaingan tidak sehat dan justru merugikan banyak pihak dengan berbagai factor, itulah kenapa KPPU dalam hal persekongkolan tender ini betul-betul memantau jika terjadinya persaingan tidak sehat dalam bisnis usaha tertentu, maka wajar saja jika dari berbagai kasus yang masuk dalam KPPU  kebanyakan menyangkut persekongkolan tender. Lalu yang menjadi permasalahan berikutnya adalah, apakah beauty contest masuk dalam yuridiksi KPPU?. Hal ini tentunya melihat dari beberapa kasus yang masuk di KPPU justru adalah hal yang berkaitan dengan beauty contest, yang oleh KPPU dinalai sama dengan tender, sebut saja kasus Gonggi-Senoro.
Ketua lembaga persaingan dan kebijakan usaha djokoseotono reaseach centere UI, Kuni Toho, memberi definisi tentang beauty contest adalah mencari mitra bisnis yang akan bersama-sama menanggung resiko dan keuntugan,[10]sehingga menurutnya jika tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau menyediakan jasa. Sementara, beauty contest adalah mencari mitra bisnis yang akan bersama-sama menanggung risiko dan keuntungan, bukan memborong suatu pekerjaan layaknya tender, maka baginya hal ini adalah dua hal yang berbeda.[11] Sama halnya Prof Nindiyo dalam situs online mengatakan bahwa tender dan beauty contest itu berbeda.[12] Hal tersebut seiring dengan apa yang dikatakan juga oleh Pande Radja Silalahi, bahwa kedua hal tersebut itu berbeda.[13]
Melihat dari apa yang dipaparkan oleh kuni toha seperti di atas jelas bahwa kedua hal tersebut mempunyai cara kerja yang berbeda, yaitu antara pemborongan harga dan menjadi mitra bisnis pada beauty contes. Hal ini penulis melihatnya berbeda, yaitu Sesuatu yang mengakibatkan kerugian dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam bentuk apapaun, KPPU berwenang memasukkannya dalam yuridiksinya, maka hal ini, tidak hanya melihat dari definisi undang undang itu sendri, melihat kelemahan undang undang nomor 5 tahun 1999 yang cukup banyak, maka perlunya suatu teori hukum progresif dalam hal ini, agar sesuatu yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain, permainan yang curang, dan sebagainya KPPU patut untuk berfikir progresif dalam menela’ahnya. Agar tercipta persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa harus menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:[14]
  1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
  2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
  3. Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
  4. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
  5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
  6. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, mengharapkan agar permasalahan pengertian ini dapat segera diluruskan untuk menghindari pengertian ganda. Disamping itu, kasus mengenai Beauty Contest jangan hanya berfokus pada pengertian saja, namun lebih kepada pembuktian apakah persengkongkolan itu terjadi dalam kontes tersebut.[15]
Maka pentinganya rule of reason, sebagai tindakan yang memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran persekongkolan terhadap persaingan usaha adalah hal yang jauh lebih penting, dari pada sekedar membahas definisi itu sendiri, dan disinilah peran KPPU dalam pembuktiaan atas tender dan beauty contest itu diperlukan.




Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Tender dan beauty contest bukanlah menjadi pokok permasalahannya, karena hal ini hanya merupakan definisi kata semata, namun yang menjaadi pokok sebagaimana diataur dalam pasal 22 undang undang nomor 5 tahun 1999, yakni persekongkolannya.
2.      Sehingga jika dikaitkan dengan beauty contest, maka sebagaimana pedoman KPPU berhak melakukan perluasan pengertian “tender” sesuai dalam Pasal 36 huruf f UU No 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa KPPU bertugas menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang, dan pada pedoman Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, menjelaskan bahwa pedoman ini dibuat oleh KPPU kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan persengkongkolan dalam tender.
3.      Banyaknya kelemahan yang ada dalam undang undang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, seperti dalam definisi dan aturan main tender yang tidak jelas, selain adanya pedoman yang dibuat KPPU, maka dalam hal ini, pentinganya teori hokum progresif dijalankan, agar tujuan dari pada dibuatnya undang undang tersebut dapat terealisasikan dengan baik dan bertanggung jawab, juga demi melindungi perekonomian nasional dari maraknya persaingan yang tidak sehat.


Dan dari pembahasan dan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan dua saran dari yaitu:
1.      Perlunya revisi atau yudicial revieuw atas undang undang nomor 5 tahun 1999, tentang monopoli dan persaingan tidak sehat, agar tidak ada lagi kesan KPPU yang super body, dan penafsiran ranju yang justru menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
2.      Adanya problem antara akademisi dan KPPU dalam beberapa hal, membuat akademisi yang membidangai bidang ini, justru mendapati kesan yang kurang baik, oleh karena itu, perlunya komunikasi yang diberi wadah dengan baik, agar permasalahan penafsiran dan lainnya dapat diselesaikan secara ilmiah, tanpa melihat jabatan dan kekuasaan masing masing pihak.


[2] T. mulya lubis, Hokum dan ekonomi, pustaka sinar harapan, Jakarta, 1987, hlm 60
[3]. Undang undang nomor 5 tahun 1999
[5] Keuangan Daerah: Pengadaan Barang Jasa Bisa jadi Sumber Korupsi. Kompas, 25 Feb 06, hal. 27.
[6] www.kppu.go.id
[7] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c6424cee54ac/kppu-akan-gandeng-lkpp-atasi-kasus-persekongkolan-tender
[8]http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/20/analisis-pasal-22-uu-no-5-tahun-1999-dan-karakteristik-putusan-kppu-tentang-persekongkolan-tender/ Jurnal Hukum Bisnis, Volume – No 2 – Tahun 2006.
[9] ibid
[13] Ibid.
[14] Keppres Nomor 80 Tahun 2003, Pasal 3.