17 April 2012

----- KRISIS KEPERCAYAAN-----

Sebuah kepercayaan, kesannya semua orang bisa memiliki dan menemukannya, tapi serealita itukah? saya rasa tidak, sebuah kepercayaan  tidak semudah kita mengenal orang, sebuah kepercayaan juga tidak dibangun dalam sehari bahkan sejam bertindak, tapi nilai sebuah kepercaayan yang sesungguhnya didapat dalam kurung waktu yang "mematikkan pun mejengkelkan".
Saya sebut demikian karena begitulah senyatanya, kita bisa "say hello" with other's people dengan santai dan kapan saja kita mau, tapi apakah kita langsung bisa mempercayainya?, tentu TIDAK, satu ilustrasi lagi, lalu apakah seorang kawan yang sudah kita kenal bulanan, bahkan tahunan, yang lebih "keren" belasan tahun kita bisa langsung mempercayainya?, jawaban atas hanya dua, IYA/TIDAK, dan penjelasanyapun sangatlah subyektif, dari bagaimana kita mengenal dan membahami jauh kawan tersebut.
Dan itulah yang saya rasakan beberapa bulan terakhir, lebih tepatnya  "krisis kepercayaan".
Kalimat krisis disini saya artikan secara serampangan dan subyektif skali yang artinya kekurangan dan kehausan, entahlah...apa yang semestinya. tapi krisis bagi saya sendiri sudah pada titik "malas" dan bahasanya kerennya "ogah(menjauh)", pada kata berikutnya, yaitu kepercayaan. mudah saja bagi saya untuk percaya pada siapapun, tapi akhirnya krisis itulah yang saya tidak tau bagaimana kelanjutan sikap atas keadaan itu, bagai saya, untuk sekedar kawan saja saya dianggap oleh beberapa kawan sangat "pemilih",. apalagi jika krisis itu sudah saya label-kan pada seorang kawan, saya rasa semuanya semakin sulit.
Hal-hal yang bagi orang lain tidak sesaklek itu menilai bisa jadi bagi saya adalah penilaian dan hal terpenting, karena ketika saya berusaha bahkan dengan mudahnya jujur dan percaya pada seseorang, maka rasa-rasanya tak pantas saya nilai bagi diri saya sendiri ketika orang lain sudah tak mampu jujur lagi, maka yang timbul adalah "SAYA KRISIS KEPERCAAYAN", artinya saya tak mampu memahami bahkan mempercayai lagi.
Kesanya miris memang, bahkan bisa dikatakan egois dan pikiran sempit, entahlah....dan terserah....tapi bagiku yang terbiasa jujur dan hidup lama dengan akademisi jurusan hukum, membuat saya JUJUR adalah titik pangkal kehidupan, dan berdampak signifikan bagi kehidupanku secara pribadi.

05 April 2012

PRASANGKA (KEUNTUNGAN vs KERUGIAN)

 

kali ini tulisaku bukan mengenai hukum, sedikit ingin menulis sesuatu yang bersifat antara ideal dan persepsi, terkadang manusia sering berkata "kalau-kalau/kali aja"sebagai penyenang sementara, dan sayangnya manusia  memang sebatas itu untuk membuat bukti sementaranya, contoh simpel, ketika mahasiswa mengira jika dosen yang cara mengajarnya baik, luwes, santai, senyum, dan lainnya, pasti akan mengeluarkan isi ujian yang gampang atau sampai pada tingkatan dugaan bahwa nilainya pun akan murah, atau dalam hal "rasa", manusia cendrung bersifat GR/gede rasa, dalam hal ini si perempuan ataupun laki-laki, sering menjadikan rasa yang sesaat sebagai barang bukti untuk kedepannya, misal, seorang laki-laki yang sering sms dengan bahasa yang terkesan "baik" atau perhatian dengan sms yang rentan waktunya sering, akan ada kecendrungan si perempuan mengira si laki-laki menyukainya, hal tersebut jarang di ikuti oleh logika murni, artinya melihat dari sisi sifat, asal-muasal, tujuan dan lainnya, inilah yang kemudian, menjadikan manusia sering digaluti dengan rasa"jelek", seperti kecewa, marah, sedih, dan lainnya, ketika dugaan itu salah.

jika hal ini dikaitkan dengan nilai ketuhanan, tulisan saya yang asal-salan ini akan mengemukakan difinisi yang asal-asalan juga, begini, tuhun menciptakan rasa untuk menjadikan waktu berjalan sesuai dengan rasa yang kita inginkan atau harapkan, oleh karena itu, dalam ilmu jiwa dikenal dengan "positif thingking", yang oleh islam dikenal dengan istilah husnud'zon, hal ini sebenarnya baik, hanya saja harus diikuti oleh persiapan-persiapan rasa yang tanggung jawab juga, ini lepas dari kecendrungan wanita yang begini atau begitu, atau laki-laki yang begini atau begitu, semua itu hanya bertujuan sebagi ancang-ancang kalu saja apa yang dirasakan tidak sesuai dengan keinginan kita, dalam segala hal tentunya.

namun yang menjadi menarik kemudian, ketika kita menjadikan positif dalam melihat, merasa dan melakukan itu sebagai bentuk percaya diri, terima kasih, bergerak juga bertanggung jawab, karna tidak akan mungkin, kita yang di beri kehidupan aleh gusti allah ini, hanya mempunyai rasa takut, atau meminjam bahasa pak amin yaitu sifat inlender (bukan tulisan sebenarnya/cara-baca asli^^), artinya inilah tuntutan hidup, harus optimis sekalipun harapan tak sesuai kenyataan, tetep percaya walaupun keinginan jauh tak tersentuh, dan tetap bersyukur walau impian hanya bayangan.

hal ini saya lakukan beberapa menit yang lalu ketika saya mencoba untuk memulai sesuatu yangs aya yakini akan begini dan begitu, toh tanpa saya duga rasa kecewa itu lebih dulu hadir, tanpa tau jawabnya, ternyata dalam kurung waktu (menunggu) beberapa menit itulah jawabanya, hal yang saya anggap akan menggembirakan ternyata nihil, dan tentu saya yakin kalau Tuhan memberi stok tegar yang dibungkus dengan senyum dan semangat yang tak kunjung habis,dan dengan tulisan ini, saya ingin bertanggung jawab atas apa yang diduga barusan dengan beberapa hal prasangka yang "berbau" keuntungan:

1. bahwa tentunya semua atas izin Allah swt baik ataupun buruk,

2. bahwa yang saya yakini baik bisa baik ketika terwujud, dan bisa juga buruk ketika terwujud,

3. berusaha membaikkan diri itu perlu, bahkan  harus,

4. sebagai penutup sekaligus membahagiakan diri, bahwa yang saya usahakan barusan ternyata tak bernilai karena saya jauh lebih bernilai. hee peace ^^

smoga tulisan asal-asalan ini bernilai manfaat bagi yang membaca, BERUSAHA, YAKIN, TERIMA, DAN TANGGUNG JAWAB!!!


 

01 April 2012

merindukan......^^






slalu ada cerita atas setiap gambar...........................

ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF




ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI,
 TEORI HUKUM PROGRESIF DAN RESPONSIF
oleh: emy hajar abra


A.    PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebuah negara sebagai negara hukum adalah apa yang dilakukan oleh negara dan warga negara harus berdasarkan atas hukum. Negara tidak dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Negara terikat pada konstitusi yang merupakan jaminan hak dan kebebasan asasi manusia dan mendefinisikan lembaga negara beserta kewenangan kewenangannya.
Hal ini terkait pada beberapa waktu yang lalu, wacana revisi UU MK mewarnai pembicaraan di berbagai media elektronik ataupun cetak. Revisi UU MK yang paling sering menjadi pembicaraan mengenai “ultra petita”. Kompas memuat berita ““Larangan Buat Putusan Ultra Petita Dinilai Keliru”. Berita ini merujuk Pasal 45A RUU tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan pasal ini menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kewenangan memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Hal ini menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Keputusan soal MK tetap punya kewenangan ultra petita, hanya satu dari sekitar 16 pasal UU MK yang dimohonkan diuji materikan di MK.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari gambaran masalah di atas maka rumusan masalah yang di dapat adalah:
Bagaimana ultra petita putusan mahkamh konstitusi terhadap teori hukum progresif dan responsive?
C.    PEMBAHASAN
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Di dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik dengan digunakan ultra petita dalam beberapa putusannya.
Pengujian UU sendiri sebelumnya oleh sebagian ahli hukum tata negara masih ditentang, karena UU merupakan produk badan legislatif tertinggi, setidaknya produk 2 (dua) lembaga tinggi negara. Kalaupun bisa diuji yang berhak satu-satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Di samping itu, penolakan mereka selalu dikaitkan ajaran trias politika dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tidak dianut, bentuk negara Indonesia kesatuan, dan anggapan produk DPR dan presiden sangat mustahil inkonstitusional.
Sebaliknya yang berpandangan progresif memandang UU, termasuk Ketetapan MPR (Tap MPR) jika bertentangan dengan UUD harus dikalahkan berdasarkan hirarki norma hukum UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. UU dapat di ganggu-gugat karena bukan merupakan produk lembaga pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya produk pemegang kedaulatan hukum (legal sovereignty) kedua sehingga harus tunduk dengan produk pemegang kedaulatan hukum pertama yakni UUD 1945 dan Tap MPR.
Sejak kemerdekan Indonesia UU diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas UU dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah UU melalui pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Larangan terhadap putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.[2]
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires.  Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.[3]
Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah putusan ultra petita.
Hakim mahkamah konstitusi Akil Mochtar berpendapat, bahwa ada beberapa hal yang penting kenapa ultra petita itu dianggap perlu:
a.       Ultra petita adalah demi mengisi kekosongan hukum, agar hukum itu tidak fakum pada keadaan yang kaku.
b.      Ultra petita juga dianggap sebagai hal yang sangat demokrasi, karena menyelamatkan hak suara dari banyak kalangan.
c.       Ultra petita dirasa sangat menjawab permasalahan yang ada belakangan ini, dan juga sebagai bahan jawaban bahwa hukum itu dinamis dan mampu menjawab permasalahan yang ada.
a.      MK DAN PENEMUAN HUKUM
Kelaziman dalam teori, badan legislatif tugasnya menciptakan hukum, sedangkan pengadilan menjalankan hukum dan kadang-kadang menemukan hukum yang sebenarnya pemisahan tidak mutlak benar. Akan tetapi sebagaimana Wirjono semua doktrin menunjukkan relativitasnya. Begitu juga berdasarkan UUD, di samping MK menjalankan kewenangan konstitusional (asli) termasuk pengujian UU, di sisi lain berdasarkan UU MK diberikan kewenangan membentuk hukum dalam Peraturan Mahkamah Konstititusi (PMK) dan kewenangan administratif sebagaimana kekuasaan MA.
Ultra petita menjadi kontroversial di masyarakat disebabkan dalam ketentuan peraturan sendiri tidak ditentukan. Pendapat menentang karena belum ditegaskan dalam UU, menurut Moh. Mahfud MD yang menyatakan: “Sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumennya menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut UU.
Dengan demikian hakim di larang menolak perkara. Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Mengadili menurut hukum sesuai negara hukum, bukan hanya peraturan tertulis akan tetapi hukum tidak tertulis. Artinya hakim tidak hanya “corong UU”, kalaupun sebagai mulut UU karena kebebasannya menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil. Dalam tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak menemukan dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim termasuk hakim konstitusi adalah subyek penemuan hukum yang utama.

b.      “ULTRA PETITA” DAN BATAS-BATAS KEKUASAAN MK
Bukan berarti MK kekuasaannya “tanpa batas”, sebagaimana praktik MPR berdasar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal 24C UUD 1945 telah membatasi kekuasaan MK. Kewenangan mengatur (regeling) tetap merupakan domain legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai hak eksklusif wakil-wakil rakyat yang berdaulat untuk membatasi seseorang (presumption of liberty of the souvereign people). Kekuasaan lain dapat mengatur sepanjang atas mandatnya. Selain vonis yang dijatuhkan, MK juga berkuasa dalam regulasi (judicial legislation) sebagaimana MA.
UU MK menegaskan jika materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU inkonstitusional, MK hanya dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). MK tidak dapat membatalkan berlakunya UU (vernietigingsrecht) dan begitu juga tidak dapat merubah rumusan redaksi ayat, pasal atau bagian UU, apalagi memproduksi UU. Artinya hukum acara masih dalam batas, karena tidak memasuki ranah legislatif.
Kekuasaan MK terbatas sesuai kedudukan dan fungsinya. Hubungannya dengan kekuasaan lain diikat prinsip checks and balances. Diterimanya ultra petita di MK pertimbangan hukumnya seharusnya ditindaklanjuti DPR dan presiden menegaskannya dalam produk UU. Pembentukan UU tidak selayaknya mengkerdilkan kewenanganya sebagai lembaga penjaga konstitusi. MK berhak menunjuk hukum yang benar sesuai UUD 1945 dalam kasus yang ditanganinya, seperti MA menyisihkan atau menyingkirkan peraturan (to set aside) yang inkonstitusional sebagai inhaerent aan de rechterlijke werkzaamheid (tak terpisahkan dari karya hakim).


D.    LANDASAN TEORI
1.      Hukum Progresif (Grand theory)
Satjipto Raharjo, merupakan pakar yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresi.[4] Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum" di Indonesia. Progresif berasal dari kata  progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti  perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[5]  Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[6]
Hukum progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[7]
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk member keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.[8] Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya.[9] Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain,  sebagaimana akan diuraikan di bawah ini:[10]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar  manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan  status quo dalam berhukum. Mempertahankan  status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang  berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan  dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.  
2.      Hukum Responsif (Middle Theory)
Hukum Responsif adalah teory yang digagas oleh Selznick di tengah kritik pedas terhadap liberal legism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan hukuum sebagai institusi mandiri dengan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Sebenarnya dibalik doktrin otonomi hukum, tersembunyi ideology status quo. Dan status quo merupakan benteng perlindungan bagi orang-orang mapan, orang-orang berpunya. Ditengah kritik atas realitas krisis otoritas hukum itulah, Nonet-Selznick mengajukan hukum responsif.[11] Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari  semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposive (berorientasikan tujuan).
            Lewat hukum responsive, ia menempatkan hukum sebagai  sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi public. Dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi public.[12] Pada intinya aliran ini lebih mengedepankan kajian hukum yang lebih empirik melempaui batas-batas formalism, perluasan pengetahuan hukum dan peran kebijakan dalam putusan hukum.[13]
           


E.     ANALISIS
Hukum sebagai sebuah perangkat lunak yang bekerja dalam sebuah sistem. Sistem yang terintegrasi dengan sebuah perangkat keras (hardware) yakni para aparat penegak hukum. Sebagai sebuah rangkaian kerja yang saling memiliki keterkaitan antara hukum dengan perangkat hukum hendaknya dapat berjalan sesuai komando dari user/pengguna hukum. Jika diibaratkan sebagai sebuah rangkaian komputer maka hukum adalah sistem operasi yang ada dalam komputer tersebut.
Ultra petita sangat sesuai sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif seperti dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.
Maka dengan hadirnya teori hukum progresif dan responsive, dirasa sangat sesuai dan mempengaruhi beberapa pandangan bahwa hukum itu kaku dan hanya berkutat pada aturan yang ada saja, namun kedua teori ini justru hadir dengan keyakinan bahwa hukum mampu menjawab permaslahan yang ada, salah satu contohnya seperti kasus ultra petita diatas, bahwa keberadaan MK yang salah satu tugasnya adalah menguji undang undang atas UUD 1945 dengan pelaksaan ultra petita dirasa sangat mengakomodir permasalahan yang kian berkembang dan mampu menjawabnya tanpa terjadi inkostitusional.

F.     KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditari beberapa kesimpulan:
1.      Keberadaan ultra petita yang sampai hari ini masih menjadi problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima sebagai bahan yang menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah bermuara pada satu tujuan yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan para pembeda pemikir itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli atas terjadinya aturan hukum yang baik pula.
2.      Sekalipun banyaknya pandangan tersebut diatas, namun keberadaan ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang sangat berargumentasi tajam atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab oleh hukum itu sendiri, dan ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
3.      Teori hukum progresif dan responsive yang kelompok kami bawakan adalah bentuk real yang cukup menguatkan bahwa hukum itu tidak kaku yang berada diruang yang fakum, namun hukum itu dinamis yang cukup mampu menjawab permasalahan perkembangan kehidupan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
2.      Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006.
3.      Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
4.      Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
5.      Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
6.      Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801
7.      Ultra Petita” http://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
10.  http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia.


[2] Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.
[3] Ibid.
[4] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada 2002  lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, , Penerbit Kompas, Jakarta, 2006, hlm. ix
[6] Ibid, hlm 10-11
[7] Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September 2005, hlm. 186
[8] Ibid
[9] http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia
[10] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,hlm. 139-147
[11] Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Teritb Manusia Lintas Ruang dan Generasi,genta publishing, Ctk ke 3, Yogyakarta, 2010.
[12] ibid
[13] ibid

PROBLEMATIKA KONFLIK AGAMA DI INDONESIA


KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
oleh: Emy Hajar Abra
Beberapa waktu lalu Inter Religious Council (IRC) mengadakan acara perdamaian antar umat beragama se-dunia di Gedung Nusantara IV MPR/DPR Senayan jakarta, acara yang dihari oleh tokoh-tokoh agama dunia itu tentunya mempunyai nilai dan tujuan yang kuat. Berbicara tentang “kerukunan umat beragama”, maka yang menjadi titik pangkalnya adalah kerukunannya, begitupun dengan kehidupan umat beragama, yang terpenting didalamnya bukan bagaimana dia beribadah, dan bukan juga bagaimana kepatuhannya pada yang disembahnya saja tapi yang jauh harus diperhatikan adalah kehidupannya, kehidupa antar sesame umat beragamanya itu sendiri.
Di Indonesia, masalah yang timbul karna agama bukan hal yang baru, bahkan sebelum Indonesia ini merdeka masalah ini sudah muncul, dari faham keagamaan termasuk  komunis. maka munculah pertanyaan kemudian, akan dibentuk Negara seperti apakah Indonesia ini nantinya, terlepas dari kacamata mana kita memahami sejarah tersebut, namun pancasila dan UUD 1945 adalah dasar Negara yang tidak lagi mampu diganggu gugat, nilai yang terkandung didalam kedua batang tubuh Negara Indonesia itu mempunyai nilai yang kuat, maka akan salah jika pemahannya hanya parsial saja, bahwa Negara Indonesia ini dari awal pembentukaanya bukanlah Negara sekuler yang tidak mengenal atau menjauhkan nilai ketuhanan, dan bukan pula Negara agama yang hanya berkomando pada satu agama saja, tapi Indonesia adalah Negara pancasila yang didalamnya mewajibakan untuk bertuhan, bermoral, bersatu dan nilai-nilai lain yang terkandung luas didalamnya.
Konflik beragama memang cukup menyita perhatian, bagaimana tidak, yang muncul adalah korban jiwa dan korban identitas, disebut korban identitas, karena dengan “pembiaran” yang dilakuakan oleh Negara, munculah agama yang saling bercerai dan bahkan menjatuhkan satu sama lain, dengan menganggap dia yang benar, atau bahkan agama yang “begini’ yang benar, maka terjadilah saling menyalahkan dan membenarkan versi keagamaan masing-masing, sekalipun dalam satu wadah agama yang sama. Hal ini tentunya tak bisa dibiarkan terus-menerus selama berpuluh-puluh tahun seperti ini. Negara harus turun tangan, bahwa tidak ada ajaran bahkan paham manapun yang berkesimpulan bahwa Negara tak patut masuk dalamnya, tentu itu salah besar.
UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, yang pada beberapa waktu lalu oleh alm GusDur dan kawan-kawan meminta MK membatalkan undang-undang tersebut, justru oleh MK dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang tersebut dirasa sudah cukup untuk memayungi masalah keagammaan, namun yang terjadi aparat penegak hukum belum juga mampu bertindak tegas, pun dalam KUHP kita pasal 156, dengan tegas mencantumkan delik-delik yang berkaitan dengan agama, tapi lagi-lagi hal ini belum dengan sungguh-sungguh mampu menyelamatkan juga melindungi hak-hak seseorang, bahkan hak agama itu sendiri. Ada dua hal yang patut menjadi perhatian, yaitu:
Pertama perlindungan agama, apakah Negara sudah cukup berani dalam melindungi agama yang ada di Indonesia, seperti kita ketahui bahwa ada 6 agama yang diakui dinegara ini, sekalipun tidak menutup kemungkinan jika ada kelompok atau ajaran lain yang kemudian ingin membangun agama baru, itu hal lain, yang justru dirasa lebih baik, demi meminimalisir konflik yang ada, tapi perlindungan atas enam agama itulah yang menjadi pokok penting dalam hal ini, melindungi suatu agama bukan sekedar melegalkan dalam bentuk undang-undang semata,  namun perkembangan juga harus menjadi tanggung jawab pemerintah, bahwa tiap-tiap agama mempunyai kemurnian agama masing-masing yang tak boleh pihak manapun mencabutnya, juga mengganggunya, dan itulah yang disebut hak agama itu sendiri, berbeda halnya dengan tafsir dari apa yang dipatutkan dalam agama, bahwa itu menjadi hak berfikir seseorang, namun yang dimaksud diatas berkaitan dengan  kitab, nabi, tempat beribadah, kecusian agama, hak seseorang untuk tidak diganggu dengan faham-faham baru manapun, itu yang menjadi kemurnian pokook dari agama yang oleh oaring dan badan manapun tidak bisa mengusiknya.
Kedua perasaan agama, yaitu rasa dari individu yang beragama itu sendiri, bahwa pada dasarnya tak seorang manapun mau diganggu dan sakiti atas rasa yang dinilainya hakiki seperti agama, seperti tak seorangpun mau ayah atau ibunya di bicarakan yang tidak-tidak, sekalipun ilustrasi yang saya diskripsikan itu sederhana, bahwa demikianlah ketika hak itu melekat, dan tak seorangpun boleh menyakiti dan menganggunya, dan ini berkaiatan dengan rasa beragama itu sendiri.
Maka pemerintah harus berani tegas dan bergerak untuk melindungi agama-agama yang yang sudah cukup lama hadir dan ikut mewarnai keberlangsungan berdirinya Negara Indonesia ini, tapi jika terjadi pembiaran, maka tak menutup kemungkinan jika  suatu saat kelak akan pecah dan semakin tak terkendali, karena hal ini sudah seperti gunungan es, yang bisa meletus kapan saja, dan bahwa masalah ini tidak sepeti apa yang terlihat dipermukaan saja, karena walau tak terlihat, namun perjalannya sudah merambat dan merasuki sendi-sendi kehidupan dan  mengganggu nilai-nilai spiritual dan keharmonisan hidup seseorang, yang bedampak pada kehidupan bermasyarakat secara umum.



BIODATA PENULIS

Nama                           : Emy Hajar Abra
Ttl                                : Masohi 10 april 1987
Tlp                               : 081392054690
Alamat                         : Jalan Hoscokroaminoto, Perum BPK,TR III/495 A,Yogyakarta.
Pendidikan                  :
No.
Sekolah
Alamat
Tahun
1.
Magister Hukum Bisnis, Universitas Islam Indonesia ,AKREDETASI A
Yogyakarta
Sekarang
2.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Fakultas Hukum, Ilmu Hukum), AKREDETASI A
Yogyakarta
2005-2009
3.
Madrasah Syanawiyah Mualimmat Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta
2002-2005
4.
Madrasah Aliyah Mualimmat Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta
1999-2002
5.
Ibtidaiyah
Masohi, AMBON
1993-1996

Prestasi:
-          Juara II Lomba karya ilmiah dengan judul “telaah kritis hukum dalam menyikapi pemanasan global di Indonesia”, yang diadakan oleh Komakom Fakultas komunikasi UMY, tahun 2008.
-          Juara I lomba debat, yang diadakan oleh BEM FAI UMY, dengan tema wajah peradaban Islam versus As, pada tahun 2005.
-          Juara I lomba pidato yang diadakan oleh fakultas hukum UMY, pada tahun 2006.
-          Juara II dalam lomba baca puisi yang diadakan oleh JAA UMY, pada tahun 2006
-          Juara III dalam lomba debat hukum Nasional yang diadakan oleh PERMAHI bekerjasama dengan BPHN, di Jakarta pada 20-23 November 2008
-          Juara III dalam lomba debat konstitusi di Yogyakarta, tingkat Regional universitas di yogyakarta, yang diadakan oleh UII bekerjasama dengan MAHKAMAH KONSTITUSI RI
-          Peserta dalam lomba Debat Hukum Konstitusi Nasional, yang diadakan oleh MAHKAMAH KONSTITUSI RI, di MK Jakarta desember 2008
-          Juara III dalam pemilihan Mahasiswa Berprestasi tahun 2009 yang diadakan oleh Universiats Muhamadiyah Yogyakarta
-          Lolos dan dibiayai dalam penelitian yang diadalakn oleh DIKTI pada tingkat Nasional tahun 2009, dengan tema “efektifitas peran perempuan dalam lembaga legislative tahun 2009”

Dunia Pendidikan Menjadi Harapan?


Dunia Pendidikan Menjadi Harapan?
Oleh: Emy Hajar Abra
Wajarkah kita berfikiran jikalau kemudian para pemimpin dan para ilmuan kita makin menghilang dan menipis?, bagaimana tidak, Dalam 1 bulan saja kasus kekerasan lebih dari 5 kasus yang dapat kita ketahui dari berbagai media, tambah lagi dengan kasus pergaualan bebas,criminal lain, dan putus sekolah, tambah yang lebih memalukan adalah perlakuan kotor justru dating dari pihak guru, dari kekerasan fisik dari guru,perlakuan seksual guru pada siswanya,guru meminta uang paksa pada muridnya,dll,jelas hal ini sangat memakuakn,lalu siapa yang akn dijadikan panutan kalau saja duni pendidikan kita makin mencorengkan perilaku kotor demikian. jumlah itu kian membengkaka dan membuat geleng-geleng kepala, ada lagi ketika  pelajar  perempuan mengeroyok teman sekolahnya demi memperlihatkan kekuatan geng yang sekolahnya.hal ini jelas sanagt ironis dan memaluakn, seakan tanpa etika, moral, agama,adap yang membentengi hidup mereka. Itu baru satu kasus dari beribu kasus yang terlihat maupun tidak terliahat.
Jelas hal ini menjadi sekian kasus yang ditangani oleh pemerintah pada urutan terakhir melihat kasus Negara yang kian rumit, lebih lagi beebrapa bulan kedepan pemilu mulai berjalan, tentu hal ini sangat kecil kemungkinannya untuk diperhatikan, masih ada pemilu, ekononi,korupsi,criminal,dll yang harus ditangani pemerintah, namun kalu lebih disadari lagi semuan itu mungkin tidak sulit dan seakan menjadi gunung es bagi permasalahan Indonesia, hal ini jelas berawal dari sebuah akhlak manusia itu sendiri, bagaiman mungkin harapa itu besar bagi kader bangsa ini kalau akhlak dari tataran siswa saja sudah memuncak, beluam lagi pada kalangan mahasiswa yang kurang diekspos oleh media, oleh karna itu ada beberapa hal penting dalam perwujjudan bengsa yang berniali moral pada kadernya, diantaranya:
a.       Pengawasan yang kuat dari pihak sekolah, yang mana pengawasan ini bukan hanya berada pada internal sekolah atau kampus saja namuan ada beban moral ynag dibawa ketika berada di luar sekolah berupa pengawasan eksternal, hal ini bukan tidak mungkin dilakuakn oleh pihak sekolah kalau saja beban moral untuk Indonesia itu ada
b.      Pelajaran yang dibawa oleh pihak sekolah ataupun kampus bukan hanya pendidikan teori dan materi saja, namaun aplikasi dan perna aktif ketika materi itu dibawakan harus ada sosialisasi yang jelas disertai dampak yang dapat difahamia
c.       Peran agama adalah pondasi awal dan dirasa sangat penting bagi beberapa pengamat sosiolog dan agamawan, hal ini buakan hanya membebani slah satu agama saja namun semua agama yang diakui dinegara ini, peran agama ini dinyatakan lebih berfungsi jikalau orang tua ataupu sekola itu benar benar memehamai dan yakian akan suatu sangsi dunia dan akherat
d.      Peran pemerintah jelas menjadi tanggunag jawab terbesar dalam sebuah Negara, dan peran ini dapat berupa sangsi yang kuat agar dapat menjalankan fungsi hukum yaitu bersifat efek jera, hukuman dari pemerintah yang kemudian dilaksanakan oleh penegak hukum harus benar-benar dilakuakn demgn konsisten agar efek jera itu ada.
e.       Pola pikir yang baik adalah sumber dari perlakuakn yang akan dilakuakn, dalam artian Seseorang harus memepunyai pole pikir yang jernih dan baik dalam memahami sesuatu, hal ini dapat menjadi sumber ketika seseorang akan melakuakn sesuatu jelaslah memahami apa dampak yan g akan terjadi secara kecil sampai besar kelak
f.       Perlakuak keras berupa teguran dan sangsi haruslah lebih keras lagi diberikan  bagi pihak pendidik yang jelas haruslah menjadi teladan bagi semua kalangan, termasuk masyrakat disekitar.
Semua kalangan menjadi tangguang jawab atas segala yang terjadi di Indonesia, Indonesia rapuh dan rusak juga karna rakyat dan pemerintah, begitupuan Indonesia bagus dimata dunia tak lain adalah karan rakyat dan dukukangn pemerintah,sekarang tinggal pilihan Indonesia,buakn kapan lagi pertanyaan yang pantas demi kemajuan , tapi lebih pada kata yang bersifat otoriter, yaita sekarang Indonesia harus lebih baik karna kamu!