11 Februari 2012

KONTROVESI PERDA SYARI’AH[


KONTROVESI PERDA SYARI’AH[1]
EMY HAJAR ABRA[2]

A.    PENDAHULUAN

Pancasila ayat satu dengan jelas menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, dan hal itu tak berhenti disitu dalam UUD 45 pasal 28 dan 29 pun jelas dalam hal agama dan hak tiap-tiap individu yang dilindungi, belum lagi dengan hadirnya beberapa undang-undang penguat hal tersebut, pada dasarnya negara kita ini sudah cukup baik dalam hal demokrasi, HAM, dan UUD 45, hanya saja penerapannya bertabrakan dengan kepentingan antar kelompok masing-masing, dan inilah yang menimbulkan masalah yang tak berkesudahan, kenyataan ini menyebabkan bahwa ketika kepentingan satu ditegakkan maka adakalanya kepentingan yang lain ditiadakan, disitulah kenyataan bahwa keadilan itu abu-abu, sekalipun demikian, pentinganya keberadaan Negara untuk turut serta sebisa mungkin menyelesaikan dan ikut membantu masalah yang ada.
            Akar Kontroversial di atas berawal dari beberapa masalah berikut: Perbedaan Pandangan dalam Melihat agama, Problem Sumber Hukum, Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis, Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis, Kontroversi Muslim dan non Muslim. Kontroversi ini agaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Di samping itu dapat juga dieliminir akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi ini.
Di zaman Orde Baru dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto sering mengatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler. Pernyataan ini nampaknya ingin menunjukkan pada satu sisi agar tidak terjadi dominasi agama dan pada sisi lain agama juga tidak dapat diabaikan. Namun karena dominasi kekuasaan sangat kuat tidak muncul reaksi politik yang bernuansa agama, kalau toh muncul langsung dipotong oleh kekuasaan. Indikator yang cukup menentukan terhadap hal ini adalah munculnya kebijakan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, atau dikenal juga dengan asas tunggal. Semua organisasi, baik ormas kegamaan maupun ormas non keagamaan menjadi merubah asasnya dengan Pancasila kalau ingin tetap diakui keberadaannya di bumi pertiwi ini.
B.     PEMBAHASAN
Semenjak tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan pemerintah tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.
Seirama dengan bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula keinginan bagi sebagian kalangan yang peduli pada komitmen keislaman agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural. Untuk mencapai hal ini menurut mereka harus dimulai melalui politik kekuasaan. Keinginan ini terlihat dari kemunculan berbagai partai Islam. Di samping itu di daerah-daerah yang memiliki basis keislaman yang kuat muncul pula keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara holistik. Aceh, umpamanya, menuntut diberlakukannya Undang-Undang Otonomi khusus sebagai daerah Istimewa dan sebagai daerah yang memiliki budaya Islam yang sangat kental, yang terkenal dengan serambi Mekah. Begitu juga daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Banten, Bulukumba dan lain-lain sebagainya. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi perdebatan yang sangat kuat di kalangan Anggota DPR untuk mengakui keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Syar'iah. Sampai saat ini belum terjadi kata sepakat di antara mereka.
Beberapa pengertian politik, diantarannya:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[3]
a.      Perda syari’ah
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu  peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit  berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
            Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan penjelasan dan penafsiran para ulama.[4]
Istilah syari'ah ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
            Jadi, istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab, tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai dan menggunakannya.
1.      Peta Kontroversial
            Ada yang mengelompokkan kontroversi terhadap Perda Syari'ah ini pada tiga kelompok. Pertama, yang mendukung; kedua, yang menolak dan ketiga, yang tidak memiliki sikap apakah mendukung atau menolak. Yang terakhir ini tidak akan dikomentari, karena tidak mempengaruhi arus pemikiran yang berkembang. Dalam pandangan lain ada yang mengelompokkan kontroversi ini antara kalangan agamis dan kalangan nasionalis. Kalangan agamis untuk yang mendukung dan nasionalis untuk yang menolak. Kalangan agamis ada yang berbasis santri ada yang non santri tetapi memmiliki kepedulian yang tinggi terhadap Islam.
Kelompok yang mendukung beralasan bahwa persoalan kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini hanya bias di atasi dengan menerapkan ajaran Islam secara baik dan holistik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan wacana akan tetapi sudah berada di tingkat praksis. Hal ini dapat dilihat dalam penerapan busana muslim bagi siswa dari SD sampai SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti Maksiat seperti penerapan jam malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang, Penerapan wajib pandai baca tulis Alqur'an bagi calon mempelai di Bulukumba Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lainnya.
            Keinginan dalam menerapkan ajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kelompok yang mendukung diperkuat dengan beberapa alasan historis yang sudah muncul sejak lama. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Pertama, pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau lebih di kenal dengan Piagam Jakarta.
Kedua, pada sidang konstituante. Dalam torehan sejarah yang terjadi pascapemilu tahun 1955 itu, terjadi tarik-menarik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra seputar keinginan menjadikan syari’at Islam diterapkan sebagai bagian dari hukum Indonesia. Tetapi karena beberapakali deadlock, dan tidak jadinya rumusan negara membuat Sukarno mengambil alih konstituante sehingga lahir Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Maka, perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga, seiring lamanya kendali Orde Baru yang menabukan aspirasi, nuansa untuk menerapkan syari’at pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat Islam. Berubahnya zaman, dan adanya reformasi, membuat keinginan untuk mengamandeman undang-undang dasar dan memasukkan tujuh kata itu pun muncul lagi. Ditengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam Jakarta.
Kelompok yang mendukung ini ada dua, yaitu : mendukung secara simbolistis dan mendukung secara substansialis. Pendukung Perda Syari'ah simbolistis ingin aturan ini lebih kongkrit dan tegas memakai simbol syari'ah atau Islam, termasuk pemberian nama peraturan ini dengan Perda Syari'ah. Setidaknya inilah yang diperlihatkan oleh Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPSI) di Sumatera Barat.
Pandangan yang substansialis maksudnya adalah yang ingin melihat nilai-nilai syari'ah terdapat dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, walaupun tidak menyebutkan symbol atau label syari'ah. KH. Ma'ruf Amin dari MUI nampaknya lebih cendrung berpandangan substansialis ini. Beliau mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa hingga kini di Indonesia tidak pernah ada peraturan daerah (perda) syariah, seperti yang ditakuti beberapa pihak yang tidak mengerti tentang apa itu syariah. "Yang ada adalah peraturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai syariah, dan itu untuk kebaikan masyarakat, dan telah disetujui oleh banyak partai yang menjadi wakil rakyat," ujarnya dalam pernyataan bersama MUI-Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Menurut dia, setelah diterbitkannya peraturan-peraturan yang disebut sebagai perda anti-maksiat itu, angka kriminalitas di beberapa daerah cenderung menurun. Ma`ruf menyatakan, tidak ada pertentangan di antara perda-perda yang menjadi polemik di berbagai media massa tersebut dengan peraturan di atasnya, apalagi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2.      Akar Kontroversial
Kontroversial dalam menanggapi Perda Syari'ah bukanlah suatu sikap yang muncul belakangan ini secara tiba-tiba, akan tetapi sudah memiliki akar kebelakang. Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat untuk menelusuri akar kontroversial ini. Uraian berikut ini akan mencoba melihat akar kontroversial tersebut:
Perbedaan Pandangan dalam Melihat Islam
Perbedaan padangan dalam melihat Islam berimplikasi terhadap penerimaan atas keberadaan Perda syari'ah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan dan ada pula yang melihat semata-mata sebagai agama, sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan.
Bagi yang memandang Islam merupakan sistem kehidupan bependapat bahwa hidup ini diatur oleh satu-satunya sumber yaitu ajaran Islam (Alqur'an dan Sunnah), karena ajarannya bersifat komprehensif, universal dan terintegrasi dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Pandangan ini kemudian memperkuat alasannya dengan: QS 2:208; Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Bagi aliran substansialis persoalan nama tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah bagaimana aturan hukum Islam itu memasuki berbagai wilayah kehidupan tanpa menyebutnya sebagai hukum Islam/syari'ah atau nama lain yang seirama dengan itu.
            Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur persoalan ritual dan spiritual. Dalam pandangan ini Islam sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan, yang hanya dapat dilihat pada wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial). Pandangan ini lebih menekankan agama dari sudut pandang sosiologis. Sehingga ajaran Islam tidak dapat mengintervensi urusan Negara dan kekuasaan. Pandangan inilah yang kemudian disebut sekuler, yaitu memisahkan antara agama dan Negara. Di Indonesia, walaupun ada yang mencoba bersikap sekuler, namun kelompok ini tidak begitu berpengaruh, karena Negara bukan Negara sekuler. Akan tetapi di Eropa sebelum reformasi, gereja mempunyai hak  membentuk untuk undang-undang, di samping itu Negara juga mempunyai hak yang sama, sehingga tedapat dua macam pemerintahan, yaitu pemerintahan duniawi dan pemerintahan rohani. Namun setelah reformasi keadaan tersebut berubah. Pemerintahan rohani lenyap, sehingga yang berhak membentuk hukum hanyalah Negara atau kekuasaan duniawi. Politik inilah yang kemudian melahirkan sekularisasi hukum.
Problem Sumber Hukum
Dalam literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprodensi, pendapat ahli dan doktrin. Konsekuensi dari teori ini menjadikan bahan-bahan lain tidak dapat dijadikan sumber hukum, termasuk sumber-sumber ajaran agama dan dan atau pendapat ahli hukum agama yang di dalam Islam  disebut ijtihad ulama atau fukaha. Walaupun salah satu sumber hukum itu pendapat ahli, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ahli hukum sekuler atau ahli hukum Barat.
Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis
Di berbagai lembaga pendidikan agama di Indonesia studi hukum Islam boleh dikatakan bersifat teoritis. Hukum Islam yang dipelajari tidak banyak ditemukan dalam realita kehidupan, kecuali yang menyangkut hukum-hukum ibadah secara khusus seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi dalam bidang mu'amalah sulit ditemukan realita hukum Islam seperti bidang kewarisan, ekonomi, politik, pidana, dan lain-lain sebagainya. Sehingga studi hukum Islam cendrung hanya untuk memenuhi keperluan ujian peserta didik, baik di kalangan siswa maupun mahasiswa.
Sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berhubungan dengan hukum Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU Wakaf, namun masih bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah keperdataan yang ruang lingkupnya pun sangat terbatas. Di samping itu bila diikuti perdebatan seputar kelahiran undang-undang ini dapat pula memberikan kontribusi untuk mempertajam kotroverisial kelahiran Perda Syari'ah, karena perjuangan untuk meloloskan UU tersebut sangat alot.
Dampak langsung dari studi hukum Islam yang bersifat teoritis ini terhadap kontroversi Perda Syari'ah adalah seakan teori atau konsep hukum Islam bukan untuk kontribusi hukum positif. Ditambah lagi studi hukum Islam tidak diiringi dengan studi penerapan hukum (taqnin). Studi hukum Islam berhenti pada tataran syari'ah dan fiqh, tidak melangkah selangkah lagi ke qanun (Undang-undang).
Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
            Kontroversi antara kelompok agamis dan nasionalis sudah berlangsung sejak lama, mulai sejak merumuskan dasar Negara. Kelompok agama diwakili oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan santri, baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi atau hanya pada jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan kalangan nasionalis diwakili oleh meraka yang berlatar belakang pendidikan Barat atau pendidikan umum. Walaupun akhir-akhir ini dinding pembatas yang berpedidikan santri dan pendidikan umum sudah ada yang mencair, akan tetapi pandangan kelompok agamis dan nasionalis tetap saja masih kental di kalangan para pengamat. Bahkan di kalangan praktisi politik pun hal ini sangat kelihatan. Kalangan agama mendirikan partai-partai politik yang berlabel agama sedangkan kalangan nasionalis menanggalkan label-label kegamaan dari partai mereka.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok agamis dan nasionalis berbeda dalam melihat keberadaan Perda Syari'ah. Kalangan nasionalis tidak menginginkan adanya simbol-simbol keagamaan, sedangkan kalangan agamis tidak bisa melepaskan agama dari kehidupan mereka, apakah secara simbolis atau secara substansialis.
b.   Otonomi Khusus Aceh dan Perda Syariah
Berdasarkan pasal 18B UUD 1945 ayat (1) negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan mengormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Aceh merupakan salah satu daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan di beri kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat  setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh diamanatkan dalam TAP No. IV/MPR/1999 yang dikuti dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah  Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. UU No. 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan hasil kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, guna menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat dalam kerangka NKRI.  Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) tersebut merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
UUPA tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU ini sebagai subsistem sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu, yakni merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Bagir Manan, pengertian khusus pada umumnya penyelenggaraan secara khusus sesuai dengan karakteristik dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kekhususan atau bersifat istimewa yang diberikan kepada Aceh di bidang Syariat Islam, Pendidikan, Adat dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah,[5] telah melahirkan lembaga/perangkat daerah,  yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Penerapan yang paling khusus dalam otonomi khusus adalah penerapan syariat Islam di daerah tersebut.
Penerapan syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi  Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),    sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan Aceh. Adapun  tugas MPU  adalah memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada masyarakat.
 Masukan pertimbangan dan saran ditujukan terhadap kebijakan daerah, agar kebijakan  yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.[6] Draft akademis disusun berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian baik teks maupun dalam masyarakat dengan bantuan jasa para ahli  Syari’at terutama para akademisi dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Draft yuridis Perda disusun oleh Dinas  Syari’at Islam bekerja sama dengan Dinas lain yang terkait, serta dengan Biro Hukum (drafting) pada Kantor Gubernur Provinsi NAD.  Transfrormasi asas-asas  Syari’at (dalam arti luas) dilakukan oleh Dinas  Syari’at, bekerja sama dengan Dinas-dinas Dearah  lainnya.[7]
Pengertian Syariat Islam dalam rumusan UU No. 44  tahun 1999 jo. UUPA sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam. Syariat Islam diartikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.  Oleh karena pengertian Syariat Islam dirumuskan dalam aspek yang sangat luas, maka dalam praktik pelaksanaannya akan mengalami kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah adanya ketentuan yang membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan Qanun/perda dan Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
d.      Sistem Hukum Nasional
Ketika membicarakan tentang sistem hukum kita tidak dapat menempatkan hukum sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem  yang saling berkaitan. Pertama-tama Untuk memahami makna sistem Mahadi mengatakan sistem adalah  suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen yang saling berhubungan, dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan tertentu, diantara komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang lain.
Selanjutnya Sudikno mertokusumo mengatakan hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Arti penting suatu peraturan hukum karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan hukum lain. Jadi hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya, dengan kata lain sistem itu merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan.[8]
Menelisik kepada dasar dari sistem hukum nasional kita yaitu  Pancasila, Menurut Arif Sidharta pandangan hidup Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar yang sudah dengan sendirinya harus begitu.
Dengan demikian eksistensi hidup manusia merupakan kodrat yang diberikan tuhan yang selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat, Dalam hidup bermasyarakat  itu manusia mempunyai sifat kekeluargaan. Arif Sidharta menarik kesimpulan asas dalam hukum Pancasila yaitu :
a.       Asas semangat kerukunan, yaitu ketertiban,keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin,kesenangan bergaul diantara bersamanya, keramahan dan kesejahteraan (baik materil maupun spiritual),
b.      Asas Kepatutan, Yaitu tentang tata cara menyelenggarakan hubungan antar warga masyarakat yang didalamnya para warga masyarakat diharuskan untuk berperilaku dalam kepatutan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan social,
c.       Asas Keselarasan, Yaitu terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.[9]

C.    TEORI TERKAIT
Hukum sebagai tatanan kebajikan, teori Socrates. Socrates menampilkan tokoh anti tesis apllonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi berintegritas” (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototype manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah “bainatang urakan”model Dionysian. Bukan pula mahluk oportunis ala Protagoras. Manusia hakikat asasinya adalah wujud logos dan oleh karena itu kehidupannya termasuk dibidang hukum mencerminkan keluhuran logos itu.[10]
Bagi Socrates sesuai dengan kahikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tananan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonism diri. Hukum sejatinya adalah tatanan obyektifitas untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.  Bagi Socrates, karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya dating dari kegagalan untuk mengetahuai apa yang baik. Teori Socrates menampilkan teori ‘tertib hidup’, yang lain lagi.[11]
D.    PENUTUP
Berdasarkan prinsip otonomi internal right self determination yaitu hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya maka daerah berwenang mengatur sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam kewenangan membentuk peraturan daerahnya. Terlebih lagi dengan adanya pasal 18B UUD yang mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan daerah maka menjadi dasar konstitusional dari pemberlakuannya otonomi khusus.
Otonomi khusus daerah Aceh merupakan kekhususan yang sangat istimewa karena dapat menerapkan sistem hukum sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat Islamnya. Dalam suatu sistem hukum nasional yang menggunakan kerangka negara kesatuan kesemua komponen hukum yang ada itu harus mencapai suatu kesatuan tujuan hukum nasional, tidak dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan hukum nasional tersebut. seperti yang dikatakan Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi Pancasila merupakan tujuan hukum nasional dan untuk mencapainya dilakukan dalam kerangka UUD 1945.
Ketika kita melihat pada hakikat makna sila satu Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia. Manusia berkewajiban menjalankan setiap perintah-perintah tuhan YME. Dalam pandangan Islam Kewajiban warga negara sebagai seorang Muslim merupakan tanggungjawabnya untuk patuh terhadap Syari’at Islam,  sedangkan bagi non muslim berkewajiban untuk menghormatinya.
Oleh karena itu ia harus patuh terhadap hak dan kewajiban masing-masing secara pribadi dan  Pemerintah berkewajiban untuk menegakkan aturan-aturan tersebut agar Syariat Islam yang merupakan dambaan seluruh masyarakat dapat berjalan sebagaimana diharapkan.  Tujuan satu-satunya pembentukan ummat Islam ialah supaya ia secara organisatoris berusaha menegakkan dan melaksanakan makrufat dan menindas serta menghancurkan mungkarat. Penerapan Syariat Islam dari sudut pandang ini dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila yaitu menjalankan perintah-perintah Tuhan YME.
Namun, lebih lanjut lagi penerapan syariat Islam itu sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila tetap harus memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan, asas kepatutan, dan asas keselarasan. Penerapan perda syariah harus tetap menjaga keharmonisan sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam artian pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam kerangka NKRI, terutama dalam pembentukan perda syariat, baik secara materiil maupun formil tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional.
            Dengan demikian Perda syariah tersebut mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum nasional. Dalam proses pembentukan perda syariah tersebut harus selalu memperhatikan perundang-undangan nasional, penerapan asas-asas dalam syariat Islam itu dapat diterapkan secara eklektis dalam artian harus di pilah-pilah nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru menyebabkan ketidak teraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum nasional sehingga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Penerapan Perda Syariah berdasarkan prinsip otonomi Kkhusus dapat dilakukan asalkan berada dalam kerangka sistem nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembentukan perda Syariat Islam dapat menerapkan syariat Islam itu secara eklektis kedalam perda tersebut dengan memperhatikan perundang-undangan nasional

DAFTAR PUSTAKA
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia,Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia ,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Ni’Matul Huda,  Hukum Pemerintahan Daerah ,Bandnung : Penerbit Nusa Media,2009
Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan
Rudi M Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
Sukron Kamil, makalah : perda syari’ah di indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim, disampaikan pada  diskusi serial terbatas islam, ham dan gerakan sosial di indonesia , Pusham UII, Yogyakarta ,13-14 Agustus 2008
UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh




[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik, akses pada rabu 18 januri 2012
[4] Zainudin, artikel: Kontroversi seputar perda syariah
[5] Husni Jalil, artikel : implementasi syariat islam  berdasarkan otonomi khusus   aceh  dalam  negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Rudi M Rizky, Refleksi Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008. Hlm. 76
[9] Rudi M Rizky, Filsafat Hukum Pancasila, Hlm. 16
[10] Dr. Bernard.L.Tanya dkk, teori hukum, genta publishing, semarang, 2006,hlm 30
[11] Ibid.

Tidak ada komentar: