KONTROVESI PERDA SYARI’AH[1]
EMY HAJAR ABRA[2]
A. PENDAHULUAN
Pancasila ayat
satu dengan jelas menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, dan hal itu tak
berhenti disitu dalam UUD 45 pasal 28 dan 29 pun jelas dalam hal agama dan hak
tiap-tiap individu yang dilindungi, belum lagi dengan hadirnya beberapa
undang-undang penguat hal tersebut, pada dasarnya negara kita ini sudah cukup
baik dalam hal demokrasi, HAM, dan UUD 45, hanya saja penerapannya bertabrakan
dengan kepentingan antar kelompok masing-masing, dan inilah yang menimbulkan
masalah yang tak berkesudahan, kenyataan ini menyebabkan bahwa ketika kepentingan
satu ditegakkan maka adakalanya kepentingan yang lain ditiadakan, disitulah
kenyataan bahwa keadilan itu abu-abu, sekalipun demikian, pentinganya
keberadaan Negara untuk turut serta sebisa mungkin menyelesaikan dan ikut
membantu masalah yang ada.
Akar Kontroversial di atas berawal dari beberapa masalah
berikut: Perbedaan Pandangan dalam Melihat agama, Problem Sumber Hukum, Studi
Hukum Islam yang Bersifat Teoritis, Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis,
Kontroversi Muslim dan non Muslim. Kontroversi ini agaknya akan terus berlanjut
bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip
demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Di samping itu dapat juga
dieliminir akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi ini.
Di zaman Orde
Baru dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto sering mengatakan bahwa
Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler. Pernyataan ini
nampaknya ingin menunjukkan pada satu sisi agar tidak terjadi dominasi agama
dan pada sisi lain agama juga tidak dapat diabaikan. Namun karena dominasi
kekuasaan sangat kuat tidak muncul reaksi politik yang bernuansa agama, kalau
toh muncul langsung dipotong oleh kekuasaan. Indikator yang cukup menentukan
terhadap hal ini adalah munculnya kebijakan pemerintah menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas, atau dikenal juga dengan asas tunggal. Semua
organisasi, baik ormas kegamaan maupun ormas non keagamaan menjadi merubah
asasnya dengan Pancasila kalau ingin tetap diakui keberadaannya di bumi pertiwi
ini.
B. PEMBAHASAN
Semenjak
tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan pemerintah tentang
asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun mendapat angin segar
untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua organisasi berasaskan Pancasila.
Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya semula. Ormas-ormas Islam
mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah
tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara
Republik Indonesia.
Seirama dengan
bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula keinginan bagi
sebagian kalangan yang peduli pada komitmen keislaman agar Islam betul-betul
eksis, baik secara normatif maupun kultural. Untuk mencapai hal ini menurut
mereka harus dimulai melalui politik kekuasaan. Keinginan ini terlihat dari
kemunculan berbagai partai Islam. Di samping itu di daerah-daerah yang memiliki
basis keislaman yang kuat muncul pula keinginan untuk menerapkan ajaran Islam
secara holistik. Aceh, umpamanya, menuntut diberlakukannya Undang-Undang
Otonomi khusus sebagai daerah Istimewa dan sebagai daerah yang memiliki budaya
Islam yang sangat kental, yang terkenal dengan serambi Mekah. Begitu juga
daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Banten, Bulukumba dan lain-lain
sebagainya. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi perdebatan yang sangat kuat
di kalangan Anggota DPR untuk mengakui keberadaan Peraturan Daerah (Perda)
Syar'iah. Sampai saat ini belum terjadi kata sepakat di antara mereka.
Beberapa pengertian politik,
diantarannya:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[3]
a. Perda syari’ah
Perda (Peraturan
Daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan
yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan
Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah
dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama
antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika
membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam
kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit
dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit berarti teks-teks
wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti
luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan),
hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara
keseluruhan.
Dalam konteks
Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit.
Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang
dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi
manusia. Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau
hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut,
sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi
manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi
manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini
disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang
mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan
bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar
kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa
Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan
Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber
dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun
wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta
Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah
teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan
penjelasan dan penafsiran para ulama.[4]
Istilah syari'ah
ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi
suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber
dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang
dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi
yang bernuansa syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha),
terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah
ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
Jadi, istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab,
tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara
operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai dan
menggunakannya.
1.
Peta Kontroversial
Ada yang mengelompokkan kontroversi terhadap Perda Syari'ah ini pada tiga
kelompok. Pertama, yang mendukung; kedua, yang menolak dan ketiga, yang tidak
memiliki sikap apakah mendukung atau menolak. Yang terakhir ini tidak akan
dikomentari, karena tidak mempengaruhi arus pemikiran yang berkembang. Dalam
pandangan lain ada yang mengelompokkan kontroversi ini antara kalangan agamis
dan kalangan nasionalis. Kalangan agamis untuk yang mendukung dan nasionalis
untuk yang menolak. Kalangan agamis ada yang berbasis santri ada yang non
santri tetapi memmiliki kepedulian yang tinggi terhadap Islam.
Kelompok yang
mendukung beralasan bahwa persoalan kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir
ini hanya bias di atasi dengan menerapkan ajaran Islam secara baik dan
holistik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan wacana akan tetapi sudah
berada di tingkat praksis. Hal ini dapat dilihat dalam penerapan busana muslim
bagi siswa dari SD sampai SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti
Maksiat seperti penerapan jam malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang,
Penerapan wajib pandai baca tulis Alqur'an bagi calon mempelai di Bulukumba
Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lainnya.
Keinginan dalam menerapkan ajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kelompok
yang mendukung diperkuat dengan beberapa alasan historis yang sudah muncul
sejak lama. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Pertama,
pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu dibumbui
perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam tentang ketentuan
memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya
sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau lebih di kenal dengan Piagam
Jakarta.
Kedua,
pada sidang konstituante. Dalam torehan sejarah yang terjadi pascapemilu tahun
1955 itu, terjadi tarik-menarik antara kelompok nasionalis dengan kelompok
Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra seputar keinginan
menjadikan syari’at Islam diterapkan sebagai bagian dari hukum Indonesia.
Tetapi karena beberapakali deadlock, dan tidak jadinya rumusan negara membuat
Sukarno mengambil alih konstituante sehingga lahir Dekrit Presiden, 5 Juli
1959. Maka, perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga,
seiring lamanya kendali Orde Baru yang menabukan aspirasi, nuansa untuk
menerapkan syari’at pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat
Islam. Berubahnya zaman, dan adanya reformasi, membuat keinginan untuk
mengamandeman undang-undang dasar dan memasukkan tujuh kata itu pun muncul
lagi. Ditengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa waktu lalu, beberapa
kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam Jakarta.
Kelompok yang
mendukung ini ada dua, yaitu : mendukung secara simbolistis dan mendukung
secara substansialis. Pendukung Perda Syari'ah simbolistis ingin aturan ini
lebih kongkrit dan tegas memakai simbol syari'ah atau Islam, termasuk pemberian
nama peraturan ini dengan Perda Syari'ah. Setidaknya inilah yang diperlihatkan
oleh Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPSI) di Sumatera Barat.
Pandangan yang
substansialis maksudnya adalah yang ingin melihat nilai-nilai syari'ah terdapat
dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, walaupun tidak
menyebutkan symbol atau label syari'ah. KH. Ma'ruf Amin dari MUI nampaknya
lebih cendrung berpandangan substansialis ini. Beliau mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa hingga kini
di Indonesia tidak pernah ada peraturan daerah (perda) syariah, seperti yang
ditakuti beberapa pihak yang tidak mengerti tentang apa itu syariah. "Yang
ada adalah peraturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai syariah, dan itu
untuk kebaikan masyarakat, dan telah disetujui oleh banyak partai yang menjadi
wakil rakyat," ujarnya dalam pernyataan bersama MUI-Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas). Menurut dia, setelah diterbitkannya peraturan-peraturan
yang disebut sebagai perda anti-maksiat itu, angka kriminalitas di beberapa
daerah cenderung menurun. Ma`ruf menyatakan, tidak ada pertentangan di antara
perda-perda yang menjadi polemik di berbagai media massa tersebut dengan
peraturan di atasnya, apalagi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945.
2.
Akar Kontroversial
Kontroversial
dalam menanggapi Perda Syari'ah bukanlah suatu sikap yang muncul belakangan ini
secara tiba-tiba, akan tetapi sudah memiliki akar kebelakang. Ada beberapa
fenomena yang dapat dilihat untuk menelusuri akar kontroversial ini. Uraian
berikut ini akan mencoba melihat akar kontroversial tersebut:
Perbedaan
Pandangan dalam Melihat Islam
Perbedaan
padangan dalam melihat Islam berimplikasi terhadap penerimaan atas keberadaan
Perda syari'ah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan dan ada pula
yang melihat semata-mata sebagai agama, sama dengan agama-agama lain, baik
agama samawi maupun agama kebudayaan.
Bagi yang
memandang Islam merupakan sistem kehidupan bependapat bahwa hidup ini diatur oleh
satu-satunya sumber yaitu ajaran Islam (Alqur'an dan Sunnah), karena ajarannya
bersifat komprehensif, universal dan terintegrasi dalam kehidupan duniawi dan
ukhrawi. Pandangan ini kemudian memperkuat alasannya dengan: QS 2:208; Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.
Bagi aliran
substansialis persoalan nama tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah
bagaimana aturan hukum Islam itu memasuki berbagai wilayah kehidupan tanpa
menyebutnya sebagai hukum Islam/syari'ah atau nama lain yang seirama dengan
itu.
Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur persoalan
ritual dan spiritual. Dalam pandangan ini Islam sama dengan agama-agama lain,
baik agama samawi maupun agama kebudayaan, yang hanya dapat dilihat pada
wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual),
upacara-upacara keagamaan (seremonial). Pandangan ini lebih menekankan agama
dari sudut pandang sosiologis. Sehingga ajaran Islam tidak dapat mengintervensi
urusan Negara dan kekuasaan. Pandangan inilah yang kemudian disebut sekuler,
yaitu memisahkan antara agama dan Negara. Di Indonesia, walaupun ada yang
mencoba bersikap sekuler, namun kelompok ini tidak begitu berpengaruh, karena
Negara bukan Negara sekuler. Akan tetapi di Eropa sebelum reformasi, gereja
mempunyai hak membentuk untuk undang-undang, di samping itu Negara juga
mempunyai hak yang sama, sehingga tedapat dua macam pemerintahan, yaitu
pemerintahan duniawi dan pemerintahan rohani. Namun setelah reformasi keadaan
tersebut berubah. Pemerintahan rohani lenyap, sehingga yang berhak membentuk
hukum hanyalah Negara atau kekuasaan duniawi. Politik
inilah yang kemudian melahirkan sekularisasi hukum.
Problem
Sumber Hukum
Dalam literatur
ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, kebiasaan, traktat,
yurisprodensi, pendapat ahli dan doktrin. Konsekuensi dari teori ini menjadikan
bahan-bahan lain tidak dapat dijadikan sumber hukum, termasuk sumber-sumber
ajaran agama dan dan atau pendapat ahli hukum agama yang di dalam Islam
disebut ijtihad ulama atau fukaha. Walaupun salah satu sumber hukum itu
pendapat ahli, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ahli hukum sekuler atau
ahli hukum Barat.
Studi
Hukum Islam yang Bersifat Teoritis
Di berbagai
lembaga pendidikan agama di Indonesia studi hukum Islam boleh dikatakan
bersifat teoritis. Hukum Islam yang dipelajari tidak banyak ditemukan dalam
realita kehidupan, kecuali yang menyangkut hukum-hukum ibadah secara khusus
seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi dalam bidang mu'amalah sulit
ditemukan realita hukum Islam seperti bidang kewarisan, ekonomi, politik,
pidana, dan lain-lain sebagainya. Sehingga studi hukum Islam cendrung hanya
untuk memenuhi keperluan ujian peserta didik, baik di kalangan siswa maupun
mahasiswa.
Sebenarnya sudah
ada beberapa peraturan yang berhubungan dengan hukum Islam seperti UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU Wakaf, namun masih
bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah keperdataan yang ruang
lingkupnya pun sangat terbatas. Di samping itu bila diikuti perdebatan seputar
kelahiran undang-undang ini dapat pula memberikan kontribusi untuk mempertajam
kotroverisial kelahiran Perda Syari'ah, karena perjuangan untuk meloloskan UU
tersebut sangat alot.
Dampak langsung
dari studi hukum Islam yang bersifat teoritis ini terhadap kontroversi Perda
Syari'ah adalah seakan teori atau konsep hukum Islam bukan untuk kontribusi
hukum positif. Ditambah lagi studi hukum Islam tidak diiringi dengan studi
penerapan hukum (taqnin). Studi hukum Islam berhenti pada tataran syari'ah
dan fiqh, tidak melangkah selangkah lagi ke qanun (Undang-undang).
Kontroversi
Kelompok Agamis dan Nasionalis
Kontroversi antara kelompok agamis
dan nasionalis sudah berlangsung sejak lama, mulai sejak merumuskan dasar
Negara. Kelompok agama diwakili oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan
santri, baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi atau hanya pada
jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan kalangan nasionalis diwakili oleh meraka
yang berlatar belakang pendidikan Barat atau pendidikan umum. Walaupun
akhir-akhir ini dinding pembatas yang berpedidikan santri dan pendidikan umum
sudah ada yang mencair, akan tetapi pandangan kelompok agamis dan nasionalis
tetap saja masih kental di kalangan para pengamat. Bahkan di kalangan praktisi
politik pun hal ini sangat kelihatan. Kalangan agama mendirikan partai-partai
politik yang berlabel agama sedangkan kalangan nasionalis menanggalkan
label-label kegamaan dari partai mereka.
Sebagaimana telah disinggung di atas,
kelompok agamis dan nasionalis berbeda dalam melihat keberadaan Perda Syari'ah.
Kalangan nasionalis tidak menginginkan adanya simbol-simbol keagamaan,
sedangkan kalangan agamis tidak bisa melepaskan agama dari kehidupan mereka,
apakah secara simbolis atau secara substansialis.
b.
Otonomi Khusus Aceh dan Perda Syariah
Berdasarkan
pasal 18B UUD 1945 ayat (1) negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan
mengormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang. Aceh merupakan salah satu daerah
propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan di
beri kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Otonomi khusus
yang diberikan kepada Aceh diamanatkan dalam TAP No. IV/MPR/1999 yang dikuti
dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang
bersifat khusus kepada Pemerintah Aceh yang berbeda dari kewenangan
Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU
No. 33 Tahun 2004. UU No. 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti
dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan
hasil kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui
penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) pada tanggal 15
Agustus 2005, guna menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh,
berkelanjutan, serta bermartabat dalam kerangka NKRI. Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) tersebut merupakan suatu bentuk rekonsiliasi
secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh
secara berkelanjutan.
UUPA tersebut
mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh
berdasarkan UU ini sebagai subsistem sistem pemerintahan secara nasional.
Dengan demikian, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi
lebih dari itu, yakni merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Bagir
Manan, pengertian khusus pada umumnya penyelenggaraan secara khusus sesuai
dengan karakteristik dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kekhususan atau
bersifat istimewa yang diberikan kepada Aceh di bidang Syariat Islam,
Pendidikan, Adat dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah,[5]
telah melahirkan lembaga/perangkat daerah, yang berbeda dengan daerah
lain di Indonesia. Penerapan yang paling khusus dalam otonomi khusus adalah
penerapan syariat Islam di daerah tersebut.
Penerapan
syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Masukan substansi Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda)
berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sebagai
badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan
Pemerintahan Aceh. Adapun tugas MPU adalah memberikan masukan, pertimbangan,
bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah
dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada
masyarakat.
Masukan pertimbangan dan saran ditujukan
terhadap kebijakan daerah, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.[6] Draft
akademis disusun berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian baik teks maupun
dalam masyarakat dengan bantuan jasa para ahli Syari’at terutama para akademisi
dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Draft yuridis Perda disusun oleh Dinas
Syari’at Islam bekerja sama dengan Dinas lain yang terkait, serta dengan Biro
Hukum (drafting) pada Kantor Gubernur Provinsi NAD. Transfrormasi
asas-asas Syari’at (dalam arti luas) dilakukan oleh Dinas Syari’at,
bekerja sama dengan Dinas-dinas Dearah lainnya.[7]
Pengertian
Syariat Islam dalam rumusan UU No. 44 tahun 1999 jo. UUPA sangat luas,
mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam. Syariat Islam diartikan sebagai
tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena pengertian
Syariat Islam dirumuskan dalam aspek yang sangat luas, maka dalam praktik
pelaksanaannya akan mengalami kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah
adanya ketentuan yang membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan
Qanun/perda dan Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
d. Sistem
Hukum Nasional
Ketika
membicarakan tentang sistem hukum kita tidak dapat menempatkan hukum sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem yang saling
berkaitan. Pertama-tama Untuk memahami makna sistem Mahadi mengatakan sistem
adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen yang
saling berhubungan, dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai
tujuan tertentu, diantara komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang
lain.
Selanjutnya
Sudikno mertokusumo mengatakan hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan
peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Arti penting suatu peraturan
hukum karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan hukum lain. Jadi
hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan tatanan, merupakan
satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang
saling berkaitan satu sama lainnya, dengan kata lain sistem itu merupakan suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain
dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan.[8]
Menelisik kepada
dasar dari sistem hukum nasional kita yaitu Pancasila, Menurut Arif
Sidharta pandangan hidup Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa alam
semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan yang
terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga
manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir
dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa
dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar yang sudah
dengan sendirinya harus begitu.
Dengan demikian
eksistensi hidup manusia merupakan kodrat yang diberikan tuhan yang selanjutnya
manusia harus hidup bermasyarakat, Dalam hidup bermasyarakat itu manusia
mempunyai sifat kekeluargaan. Arif Sidharta menarik kesimpulan asas dalam hukum
Pancasila yaitu :
a.
Asas semangat kerukunan,
yaitu ketertiban,keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin,kesenangan
bergaul diantara bersamanya, keramahan dan kesejahteraan (baik materil maupun
spiritual),
b.
Asas Kepatutan, Yaitu
tentang tata cara menyelenggarakan hubungan antar warga masyarakat yang
didalamnya para warga masyarakat diharuskan untuk berperilaku dalam kepatutan
yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan social,
C.
TEORI TERKAIT
Hukum sebagai tatanan kebajikan, teori Socrates. Socrates menampilkan
tokoh anti tesis apllonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral.
Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi berintegritas”
(manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototype manusia
sesungguhnya. Manusia bukanlah “bainatang urakan”model Dionysian. Bukan pula
mahluk oportunis ala Protagoras. Manusia hakikat asasinya adalah wujud logos
dan oleh karena itu kehidupannya termasuk dibidang hukum mencerminkan keluhuran
logos itu.[10]
Bagi Socrates sesuai dengan kahikat manusia, maka hukum merupakan tatanan
kebajikan. Tananan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum
bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula
aturan untuk memenuhi naluri hedonism diri. Hukum sejatinya adalah tatanan
obyektifitas untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. Bagi Socrates, karena kebajikan adalah
pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka
kekeliruan hanya dating dari kegagalan untuk mengetahuai apa yang baik. Teori
Socrates menampilkan teori ‘tertib hidup’, yang lain lagi.[11]
D.
PENUTUP
Berdasarkan prinsip
otonomi internal right self determination yaitu hak daerah untuk
memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya
maka daerah berwenang mengatur sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam
kewenangan membentuk peraturan daerahnya. Terlebih lagi dengan adanya pasal 18B
UUD yang mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan daerah maka menjadi
dasar konstitusional dari pemberlakuannya otonomi khusus.
Otonomi khusus
daerah Aceh merupakan kekhususan yang sangat istimewa karena dapat menerapkan
sistem hukum sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat Islamnya. Dalam
suatu sistem hukum nasional yang menggunakan kerangka negara kesatuan kesemua
komponen hukum yang ada itu harus mencapai suatu kesatuan tujuan hukum
nasional, tidak dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan hukum nasional
tersebut. seperti yang dikatakan Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita
berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan
merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila
dan UUD 1945. Jadi Pancasila merupakan tujuan hukum nasional dan untuk
mencapainya dilakukan dalam kerangka UUD 1945.
Ketika kita
melihat pada hakikat makna sila satu Pancasila berpangkal kepada keyakinan bahwa
alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu keseluruhan
yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (YME), juga
manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan tujuan akhir
dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu bertakwa
dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia. Manusia berkewajiban
menjalankan setiap perintah-perintah tuhan YME. Dalam pandangan Islam Kewajiban
warga negara sebagai seorang Muslim merupakan tanggungjawabnya untuk patuh
terhadap Syari’at Islam, sedangkan bagi non muslim berkewajiban untuk
menghormatinya.
Oleh karena itu
ia harus patuh terhadap hak dan kewajiban masing-masing secara pribadi
dan Pemerintah berkewajiban untuk menegakkan aturan-aturan tersebut agar
Syariat Islam yang merupakan dambaan seluruh masyarakat dapat berjalan
sebagaimana diharapkan. Tujuan satu-satunya pembentukan ummat Islam ialah
supaya ia secara organisatoris berusaha menegakkan dan melaksanakan makrufat
dan menindas serta menghancurkan mungkarat. Penerapan Syariat Islam dari sudut
pandang ini dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari sila satu Pancasila yaitu
menjalankan perintah-perintah Tuhan YME.
Namun, lebih
lanjut lagi penerapan syariat Islam itu sebagai konkritisasi dari sila satu
Pancasila tetap harus memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas
semangat kerukunan, asas kepatutan, dan asas keselarasan. Penerapan perda
syariah harus tetap menjaga keharmonisan sistem hukum nasional yang berdasar
pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam artian pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
dalam kerangka NKRI, terutama dalam pembentukan perda syariat, baik secara
materiil maupun formil tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan
nasional.
Dengan
demikian Perda syariah tersebut mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum
nasional. Dalam proses pembentukan perda syariah tersebut harus selalu
memperhatikan perundang-undangan nasional, penerapan asas-asas dalam syariat
Islam itu dapat diterapkan secara eklektis dalam artian harus di pilah-pilah
nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan
lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru menyebabkan ketidak
teraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum nasional sehingga
menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Penerapan Perda Syariah berdasarkan
prinsip otonomi Kkhusus dapat dilakukan asalkan berada dalam kerangka sistem
nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembentukan perda
Syariat Islam dapat menerapkan syariat Islam itu secara eklektis kedalam perda
tersebut dengan memperhatikan perundang-undangan nasional
DAFTAR PUSTAKA
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia,Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan
Daerah di Indonesia ,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Ni’Matul Huda, Hukum
Pemerintahan Daerah ,Bandnung : Penerbit Nusa Media,2009
Husni Jalil, artikel : implementasi
syariat islam berdasarkan otonomi khusus aceh dalam
negara kesatuan republik indonesia, akan terbit dalam buku 70 tahun
prof. Bagir Manan
Rudi M Rizky (ed), Refleksi
Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008
Sunaryati Hartono, Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
Sukron Kamil, makalah : perda
syari’ah di indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non
Muslim, disampaikan pada diskusi serial terbatas islam, ham dan
gerakan sosial di indonesia , Pusham UII, Yogyakarta ,13-14 Agustus 2008
UU No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik,
akses pada rabu 18 januri 2012
[4] Zainudin,
artikel: Kontroversi seputar perda syariah
[5] Husni Jalil,
artikel : implementasi syariat islam berdasarkan otonomi khusus
aceh dalam negara kesatuan republik indonesia, akan
terbit dalam buku 70 tahun prof. Bagir Manan.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Rudi M Rizky, Refleksi
Dinamika Hukum : Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008. Hlm. 76
[9] Rudi M Rizky, Filsafat Hukum
Pancasila, Hlm. 16
[10] Dr.
Bernard.L.Tanya dkk, teori hukum, genta publishing, semarang, 2006,hlm 30
[11] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar