A. Pendahuluan
Sudah
sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara dengan dengungan HAM,
Pancasila, Demokrasi dan lainnya, tetapi konflik agama sering terjadi dan
sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang
sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati
syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah,
pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat,
penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu.
Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan
layanan berbasis agama.
Penyebaran
agama ini bukan hanya merambat pada islam saja, namun agama seperti Kristen pun
sudah lama, bahkan belangan ini di aceh, sangat marak terdengar, Fakta yang ada, aliran sesat akhir-akhir ini, bermunculan
di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada
250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di
Jawa Barat.[3]
Penyebaran
agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam
dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran
agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu
komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi
oleh penyebar agama dari agama yang lain. Perlu juga diatur mengenai tata cara
dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak
akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran
apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
B. Permasalahan
Tulisan ini tidak berkaitan
dengan perbedaan isi ajaran-ajaran aliran sesat, Karena tulisan ini bukan
kaitannya dengan fatwa-fatwa, dan tafsir-tafsir ajaran agama tertentu, tapi
lebih pada posisi hukum dan kebijakan, serta konflik sosialnya saja, sehingga dengan
mudah dapat kita fahami, bagaimana posisi Negara pada kasus ini. Sebelum kita
membahas tentang aliran sesat di Indonesia alangkah lebih baikknya, kita
mengkaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dari politik hukum itu, agar tak ada
kerancuan ketika dalam tugas politik hukum ini, penulis justru mengambil tema
aliran sesat yang bisa jadi secara kasat mata hal ini dapat dinilai “rancu”
atau bahasa simplenya “ga nyambung”.
1.
Definisi politik hukum
Mahfus MD dalam bukunya
mengatakan, bahwa politik hukum itu beda dengan ilmu politik hukum, juga taka
bisa dipisahakan antara politik dan hukum, sebagaimana Prof Saldi Isro pun
memahaminya sepeti mata-hari, yang tak mampu untuk dipisahkan. Politik hukum
adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk
mencapa tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru, dan
pergantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini maka, politik hukum itu
harus berpijak pada tujuan Negara dan system hukum yang berlaku di Negara yang bersangakutan
yang dalam konteks Indonesia tujuan dan system itu terkandung dalam pancasila
dan pembukaan UUD.[4]
Sedangkan ilmu politik hukum lebih dari policy
itu sendiri, tapi secara formal juga mengatur tentang politik apa yang melatar
belakangi, budaya hukum apa yang digunakan, problem penegakkan hukum apa yang
dihadapi dann lainnya, maka dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa
segala masalah yang kemudian muncul, perlu mendapat perhatian politik hukum,
yang dalam hal ini kebijakan politik hukum itu agar sesuai dengan tujuan
Negara.
Sedangkan
menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu
pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan hukum dalam masyarakat, dan Bagir Manan menilai politik hukum itu
Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan
pembentukan dan penegakkan hukum.[5]
2.
Definisi
aliran sesat
Dalam tulisan ini penulis
mengambil isu yang tak kunjung hentinya, yaitu aliran sesat di Indonesia,
aliran sesat di Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan dari berdirinya
Indonesia beberapa aliran yang dikatakan sesat ini sudah muncul seperti
ahmadiyah pada abad 20. Aliran sesat, berasal dari dua suku kata, aliran dan
sesat, aliran adalah bergerak maju, meleleh, berpindah tempat, dan kata yang
seiring yaitu, mazhab, paham, sekte. Sesat adalah salah, keliru, menyimpang
dari kebenaran. Dan padanan kata asingnya yaitu, dalal atau bid’ah.[6] Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran sesat adalah pandangan, yang
kecendrunganya mengarah pada pengembangan sekte-sekte kearah yang berlawanan
dari ajaran agama tertentu.
3.
Macam-macam aliran sesat di
Indonesia
Ada beberapa aliran yang oleh MUI
di fatwakan sesat, dalam hal ini sekalipun MUI bukan menjadi dasar sumber
hukum, namun tidak bisa dibantakahan lagi, bahwa apa yang dikeluarkan MUi dapat
menjadi rujukan dasr hukum dalam hal ini menjadi hukum materiil, maka dibawah
ini hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan aliran sesat di Indonesia.
Vonis tentang aliran sesat sudah dijatuhkan hakim pada
pemimpin kerajaan tuhan Eden yaitu Lia Aminudin yang mengaku
sebagai Jibril Ruhul Kudus dari kerajaan Tuhan "Eden". Sedangkan aliran sesat al-Qiyadah
al-Islamiyah dan Pengajian al Qur’an
suci masih dalam proses hukum. Sebelum itu, ada kasus Yusman Roy yang melakukan
sholat dengan bahasa Indonesia.
Munculnya
aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah terkait kondisi terpuruknya ekonomi serta
gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan. Para pengikutnya adalah orang-orang
yang merasa kehilangan harapan ke depan sehingga kemunculan tokoh seperti Ahmad
Mushaddeq memang ditunggu-tunggu mereka. Menurut Hasyim adanya aliran sesat mirip saat masa prolog G30S PKI
pada tahun 1964-1965.[7]
Mushaddeq
yang bernama asli Abdul Salam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai
1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari al-Quran secara otodidak.
Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya
mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor
sekitar enam tahun silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa
siang-malam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan al-Qiyadah al-Islamiyah
dan mengaku sebagai rasul bergelar al-Masih al-Maw’ud.[8]
Al-Qiyadah
beranggapan bahwa Islam sudah hancur, Nabi Muhammad sudah selesai sehingga
digantikan olehnya, menganggap shalat dan puasa Ramadhan belum wajib terkait
dengan tahapan yang masih dalam masa perjuangan di Mekah. Perjuangan yang
mereka tempuh dilakukan dalam enam tahap, yaitu: perjuangan rahasia, perjuangan
terang-terangan, hijrah, perang, futuh (merebut) Mekah dan membangun Khilafah
yang diramal akan terjadi pada 2024. Pengikut Al Qiyadah Diperkirakan 8.000
Orang. Pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah yang menyerahkan diri dan ditangkap
belum mencapai 100 orang.[9]
Keberadaan Al-Qiyadah al-Islamiyah
ini sangat meresahkan kehidupan beragama di masyarakat, khususnya bagi umat
Islam. Ajaran yang disampaikan oleh aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah yang
dipimpin oleh Mushaddeq bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Aliran sesat yang lainnya adalah Pengajian al Qur’an
suci, diduga telah mengakibatkan hilangnya mahasiswa-mahasiswi. Sejak
9 September 2007, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa”
Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe
Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui
keberadaannya, setelah mengikuti pengajian “al-Qur`an Suci”[10]
Cara perekrutan jamaah pengajian “al-Qur`an Suci” dilakukan dengan sistem
berantai atau mirip Multi Level Marketing (MLM). Jamaah yang sudah masuk,
diwajibkan mengajak orang lain lagi untuk masuk ke kelompok itu. Begitu
seterusnya, mirip system penjualan MLM. Jamaah yang direkrut harus pintar, pemikir dan pendiam.[11]
Selain ingkar
sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan
perzinahan. Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena
berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.[12] Pada tanggal 9 November 2007,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat,
diantaranya:
- Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
- Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
- Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
- Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
- Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
- Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
- Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
- Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
- Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i[13]
4.
Kedudukan hak asasi manusia
Sejumlah kalangan
banyak yang menggugat fatwa MUI tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan
beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI. Bahkan, mereka juga menuntut
agar MUI dan PAKEM dibubarkan. Jika ditelaah, pendapat mereka yang
katanya membela kebebasan dan HAM itu, sangatlah lemah. Tindakan aparat
penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk penangkapan/penahanan
pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, maupun tindakan pelarangan dari
kejaksaan agung, secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar.
Perlu diingat
bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang
harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen
penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya
untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini
dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “Setiap
orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”[14]
Jika kita
perhatikan anak kalimat yang digarisbawahi dalam ketentuan di atas, maka
terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang perlu kita promosikan di Indonesia
hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini penting
karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan
beragam bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM
yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Betapa tidak, karena di
satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal,
sebaliknya ada pandangan juga yang menyatakan HAM bersifat partikular.
Karena itu
keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi
dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Hal ini juga sudah
ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan
mengenai pembatasan pelaksanaan konsep HAM sebagaimana tersebut diatas, lebih
dipertegas lagi pada pasal 70, UU No. 39 Tahun 1999: Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis.
Jika kita
mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka
kita pun tidak boleh mencampakkan hal yang sama pada sistem pengembangan
pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama/kepercayaan. Sebagai suatu ajaran
agama/kepercayaan sekitar 1,4 milyar jiwa, Islam tentu mempunyai standar nilai
dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya. Standar nilai
kesucian ajaran Islam tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Setiap
tindakan yang melahirkan paradigma kepercayaan dan atau peribadatan dengan
menggunakan label Islam, tetapi menyimpang dari standar nilai ajaran agama
Islam, maka itulah yang disebut dengan ajaran sesat dan menyesatkan yang dalam
bahasa hukum disebut delik penodaan agama.
5.
Pandangan
hukum
- Pancasila
Searah dengan perkembangan, sila
Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau
biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan
ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat
beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
- UUD 1945
Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila
menempatkan agama sebagai peranan penting, serta menjadi sasaran dalam
mewujudkan pembangunan bangsa. Pasal 29 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa, serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
c. Undang undang
Betapa tidak,
selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, kebijakan tersebut juga
merupakan amanat dari ius constitutum. Postulat penindakan tersebut
bertumpu pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b)
dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewenangan
aparat penegak hukum sendiri untuk menindak pelaku delik ajaran sesat dan
menyesatkan, diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres ini telah
ditingkatkan statusnya menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: ”Setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”[15]
Sedangkan pada
pasal 2 disebutkan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1
diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di
dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh
organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia
dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut
sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Undang-undang nomor 1 tahun 1965
tentang pencegahan, penodaan agama, intinya menyatakan aliran sesat sabagai
ajaran terlarang. Seperti dalam pasal 1 UU no 1 tahun 1965. Begitupun dalam
fatwa-fatwa yang dikeluarakan oleh MUI, dengan fatwa yang menyatakan adanya beberapa
aliran sesat, seperti Ahmadiya, Lia Eden, Qur’an Suci, Sholet dua bahasa, dan
lainnya, maka fatwa yang dikelurkan ini dirasa perlu agar tercapainya
keberagaaman yang harmonis, lagi adil dan damai.
Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1965, beberapa
diantaranya adalah:
1. Sila pertama pancasila” ketuhanan
yang maha esa”, yang tidak dapat dipisahkan dari agama, yang merupakan landasan
moral, dan landasan kesatuan nasional.
2. Banyak muncul aliran kepercayaan
yang menyatakan dalam ajarannya, bahwa aliran tesebut mempunyai nabi dan kitab
suci sendiri
3. Aliran-aliran atau
organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran dan hukum agama
4. Aliran-aliran tersebut sudah
menimbulkan, pelnggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai kesucian
agama
5. Menyalahgunaan dan atau
mempergunakan agama sebagai pokok sangat membahayakan agama-agama yang ada[16]
Kalau kita melihat permasalahan
yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris
hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih
dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan
bahkan ratusan seperti di ambon.
Selaku penulis, dalam hal ini
sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa Negara tak
patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa
hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan
tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang
penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa
dikatakan bahwa Negara jauh dari agama?,
hal ini justru menekankan bahwa Negara dengan malu-malu ikut serta akan
hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam
hal hukunya. Bahkan agama islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia
dapat menjadi sumber hukum ,sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai
sumber hukum materiil.[17]
Memahami situasi di Indonesia
bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku,
dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi
tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang
ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya,
sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, konsistensi
dan koheren tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses
dan metode penelitian tertentu.[18]
6.
Yudicial review MK
Kasus-kasus yang terjadi beberapa
tahun ini seperti,aliran-aliran yang atas nama islam, kekerasan atas nama
agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan
agama membuat undang undang nomor 1 tahun 1965 ini diajukan judicial review
oleh beberapa kalangan ke Mahkamah
Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam
persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai
dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung
jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi
penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu
hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan
yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan
peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang
telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat
martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Salah satu hakim MK Arsyad juga
menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan
tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan
nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan
kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen
negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku
dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada
hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir
kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas
penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi
dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan
dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK menilai bahwa UU pencegahan
agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat
pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses
pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama
cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa
pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan
sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap
kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
UU Penodaan Agama ini tidak
membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini untuk
membatasi penyimpangan dan penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan
sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran
agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan
ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan
menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak
melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini
mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat
diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif
karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[19]
MK menimbang bahwa terhadap
kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia,
MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki
hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan
yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang
dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan
penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan
pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab
itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Perkara ini dimohonkan tujuh
Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif
Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
(Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara
Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon
perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof.
M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[20]
C.
TEORI
Bertitik tolak dari
kasus yang terjadi ini, maka Oemar Seonadji, mengemukakan mengenai beberapa
tori yang terkait, diantaranya:
- Teori perlindungan agama, adalah teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
- Teori perlindungan perasaan agama, yaitu: teori yang memandang rsa perasaan agama keagmaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
- Teori perlindungan perdamaian agama, yaitu; memandang kedamaina beragama diantara pemeluk agama.[21]
Adapun teori terkait yaitu teori utilitas, yang
dikemukakan oleh Jeremy bentham, bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin
kebahagiaan yang sebesar besarnya, bagi manusia dengan jumlah yang
sebanyak-banyakknya.[22]
D.
Solusi
Ada hal yang
menarik dari beberapa komentar para ahli di bidangnya, salah satunya Psikiater,
dokter, sekaligus ustad Prof. Dr.dr. H.
Dadang Hawari, mengatakan, bahwa
terdapat kelainan jiwa, salah satunya ditandai dengan adanya waham
kebesaran dan keagamaan. Waham atau delusi adalah keyakinan yang tidak benar.
Meskipun terdapat bukti-bukti tentang ketidakbenaran tersebut, yang
bersangkutan tetap meyakininya. “Suatu aliran dikatakan sesat, apabila
aliran itu menyimpang dari maenstrem agama induknya. Misalnya saja, ayat-ayat
Al Qur’an ditafsirkan semaunya, tidak percaya pada hadits, mengkafirkan sesama
muslim dan seterusnya ,”[23]
Pemimpin aliran
sesat pandai memutar-balikkan ayat-ayat dengan logika palsu (pseudo-logika)
dalam rangka meyakinkan para pengikutnya. Para pengikutnya adalah mereka yang
sedang mengalami “kekosongan spiritual”, tidak faham tentang pokok-pokok ajaran
Islam. Tetapi ada juga tokoh-tokoih intelektual Islam yang terpengaruh ajaran
sesat. Benar mereka intelektual Islam, tetapi kurang memahami keislamannya.
Buku“Aliran
Sesat Ditinjau dari Kesehatan Jiwa dan Agama” (Diterbitkan Badan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia). beberapa aliran sesat di Indonesia,
diantaranya: Aliran Inkar Sunnah, Isa Bugis, Darul Arqam, Lembaga Kerasulan,
NII-Ma’had Al Zaytun, LDII, Lia Aminuddin, Millah Ibrahim, dan Syiah yang suka
mencela sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman.[24]
Maka dari
pembahasan diatas, penulis memberikan beberapa perhatian khusus berkaitan
dengan aliran sesat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.
Bahwa Negara patut memperhatikan
fatwa-fatwa kesesatan dari MUI yang berakibat penting demi terciptanya kesucian
agama, yang kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan hukum nantinya.
2.
Bahwa HAM yang sering dijunjung tinggi
sebaiknya diperhatikan dulu asas kedudukannya, bahwa HAM yang diangungkan itu
lebih mengutamakn kedamaian dan keadilan kehidupan yang beragam ini, bahwa
adanya HAM memanglah tidak mungkin mampu mengakomodir semua kepentingan,
setidaknya, mampu memperhatikan bagian-bagian yang terluka juga menodai
kehidupan masyarakat.
3.
Bahwa hukum-hukum, aturan yang sudah
cukup baik itu tinggalah penegakkan dan keberanian Negara dan aparat selaku
menjalan aturan, agar tidak lagi kasus aliran sesat ini, makin menyesatkan dan
menodai kehidupan masyarakat
4.
Yang terakhir, penulis memberi masukan
secara subyektif agar tiap-tiap individu kita lebih mengenal agama juga arti
menghargai lebih luas.
[3] Maraknya
Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965 http://hariansib.com /2007/11/01/ maraknya
-aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[4] Moh mahfud MD.
Membangun politik hukum dan menegakkan konstitusi, Jakarta, rajawali pers,
2010, hlm 5
[5] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/politik-hukum/apa-politik-hukum-itu/,
akses kamis 1 februari 2011
[6] Kamus besar
bahasa Indonesia, balai pustaka. Jakarta. 1990. Hlm 22,836
[7] Maraknya
Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965 http://hariansib.com
2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[8] Menyikapi al-Qiyadah al-Islamiyah http://www.cmm.or.id
/cmm-ind_more .php ? id=4928 _0_3_0_C
[9] Maraknya
Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965 http://hariansib.com /2007/11/01/ maraknya
-aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965//
[10]Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Sucihttp://www.media-islam.or.id /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran sesat-al-quran-suci/
[11] Pengajian Alquran Suci
Jaring Jamaah Mirip MLM, Erna Mardiana – detikcom http://www.detiknews.com
/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/04 /time
/123032/idnews/837829/idkanal/10
[12] Hilangnya
Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci http://www.media-islam.or.id
/2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran-sesat-al-quran-suci/
[13] MUI: 10
(Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat http://www.media-islam.or.id
/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/
[14] Saharuddin Daming. Ham dan aliran sesat.
Seminar kampus, 2010
[15] Saiful Abdullah,
hukum aliran sesat, setara press, bangkalan, 2009, hlm 93
[16]. ibid
[17] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan
konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[18] Prof Jawahir Tantowi.
islam politik dan hukum, Yogyakarta:
madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[19]http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3941,
akses rabu 11 januri 2012
[20] ibid
[21]
Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan 2009, hlm 92
[22] Ibid.
[24] ibid