11 Desember 2015

KEMUNGKINAN PRESIDENSIAL DALAM SISTEM PEMERINTAHAN TURKI

KEMUNGKINAN PRESIDENSIAL DALAM PEMERINTAHAN TURKI
OLEH: Emy Hajar Abra


Setelah kemenangan presiden lalu diikuti kemenangan legislative, kemudian apalagi langkah AKP di turki selanjutnya?, presidensial kah?. Turki memang cukup menarik untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan hukum antar negara, lihatlah dari perjalanan sejarah yang cukup membuat dunia terdiam, dari ideology yang berani berutar arus beberapa kali, awalnya kerajaan besar islam hingga sekuler lalu kini berani berputar lagi ke porosnya, lalu kini yang sedang hangat adalah system ketatanegaraan Turki, khususnya system pemerintahannya. Akankah bertahan pada parlementer atau berubah menjadi presidensial?.
Sekedar mengingatkan kembali bahwa Partai Erdogan yakni AKParty memenangkan pemilu parlemen Turki pada 1 November 2015 lalu dan pada 10 Agustus 2014 lalu, Turki menggelar pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya setelah 91 tahun setelah Turki memproklamasikan republic turki pada 29 Oktober 1923 dengan Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik Turki.
Jika diperhatikan pada 2014 lalu Turki menggelar pesta demokrasi secara langsung oleh rakyat, pertanyaannya kemudian adalah dalam system parlementer pantaskah turki melakukan pemilu langsung? Tentu hal ini harus dikritisi, keinginan erdogan untuk maju dengan system pemilu langsung oleh rakyat bukanlah tanpa alasan yang kuat, ini adalah salah satu agenda besar AKP agar membersihkan secara total system militer dan gaungan sekuler yang cukup “meracuni” nilai sejarah negara turki. Sebelum berbicara tentang presidensial dalam turki, lebih baikknya sekilas saya mengulas apa itu parlementer dan presidensial secara sederhana saja.
Pemerintahan Parlementer yakni: Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai lembaga legislative, Anggota parlemen terdiri atas orang dari partai yang memenangkan pemiihan umum, pemerintahan terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet, Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas parlemen, Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki.
Pemerintahan Presidensial yakni: Presiden memangku jabatan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Presiden diangkat melalui pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat, Anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, Presiden mempunyai hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya baik yang memimpin departemen dan non departemen, Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena ia tidak dipilih oleh parlemen, Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab oleh kekuasaan legislatif  dan Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif dan sebaliknya.
Ada beberapa hal yang patut dikiritisi dalam system parlementer di Turki:
1.      Kedudukan Presiden di Turki termasuk dianggap kuat, selain bisa dipilih lagi dalam satu kali masa jabatan Presiden juga tidak bisa dilengserkan oleh parlemen begitu saja.
2.      Peristiwa yang baru saja terjadi yakni pemilihan langsung Presiden adalah bagian terpenting yang patut dikritisi jika Turki menggunakan parlementer, karena bagian itu adalah bagian dari Presidensial.
3.      Presiden Turki bukan hanya lambang semata seperti halnya pada system Parlementer khususnya pada kerajaan umunya, namun di Turki Presiden memiliki keluwesan kewenangan yang tidak terlalu kental pemisahannya dengan perdana menteri dalam menjalankan roda pemerintahannya
4.      Munculnya system multy partai di Turki adalah bagian dari Presidensial bukan Parlementer.
Sebenarnya kalau hanya masalah keinginan Turki untuk membumi hanguskan campur tangan militer karena masih menjaga Kemalisme dan nilai sekuler itu sudah berjalan seperti: keanggotan Mahkamah Agung yang ditambahkan dari 17 menjadi 22 orang, jumalah anggota Mahkamah Konstitusi dari 11 menjadi 17 tujuannya jelas agar militer dan kader-kader kemalisme tidak dominan dan yang paling konkrit adalah amandemen UUD turki yang sama skali sudah tidak memberi ruang lagi pada militer untuk berkuasa.
Dalam hal merombak Turki secara parsial, AKP kemudian menyuarakan agenda akbarnya yakni: Turki baru, Konstitusi baru, Sistem presidensial. Pertentangan dari ketiga agenda inilah yang kemudian menjadikan turki kembali bergejolak dan memakan korban jiwa pada bom beberapa waktu lalu, berbagai pihak dan wacana kekholifahan didengungkan sehingga menurut beberapa pengamat inilah salah satu alasan pada pemilu legislative kemarin AKP mengalami sedikit goncangan sehingga dilakukannya pemilu ulang.
Agenda politik Erdogan yang akan menghilangkan system parlementer yang diciptakan oleh Mustafa Kemal kini sedang dipertaruhkan, jika kemudian amandem dilakukan dan system pemerintahan presidensial, maka analisanya adalah presiden (red-kholifah) adalah pemegang kendali, dengan demikian apapun bentuk interfensi dan kekuatan manapun yang akan bergejolak adalah otoritas Presiden yang menjadi kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, apalagi AKP juga menjadi pemenang dalam legislative, tentunya hal ini cukup memudahkan Turki dari nilai-nilai sekuler yang selama ini dijadikan bahan percontohan di bangku bangku sekolah dan kuliah.
Pada masa parlementer otoritarian dulu, partai-partai islam dihancurkan (islam benar-benar dijadikan barang najis yang harus disingkirkan pada masa itu). Adalah Milli Nizham Partisi partai pertama tahun 1970-an yang kemudian dibubarkan pemerintah. Erbakan kemudian mendirikan lagi Milli Slamet Partisi (MSP), namun kembali dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian mendirikan lagi Refah Partisi (Welfare Party) yang berhasil mengikuti Pemilu 1991 dan 1995, Namun satu tahun kemudian yakni 1996 terjadi kudeta militer dan partai Refah dibubarkan.  Muncul lagi Fazilet Partisi (FP) atau Virtue Party dan mengikuti Pemilu namun FP dibubarkan dan Erbakan dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Dan hal itu adalah akibat dari system parlementer yang otorite serta gaungan sekuler yang adidaya.
Akhirnya jikalau nanti amandemen itu benar-benar dilakukan lagi dan system pemerintahan diubah menjadi Presidensial, maka inilah bentuk nyata khilafah dalam terminologi hukum modern, dengan demikian perjuangan panjang Erbakan dan sekutu mudanya kini benar-benar bisa dirasakan oleh semua kalangan. Bicara Turki bukan bicara tuki itu saja, namun lebih jauh adalah bicara Eropa sekaligus bicara timur tengah dan dunia peradaban islam modern. Pelajarannya adalah tak usah terlalu skeptis dalam menilai politik, bahwa islam terlalu modern untuk dipaksakan sesuai nilai-nilai klasik semata, bukankah cerdas itu berbicara seribu cara untuk mendapatkan satu tujuan?.

Tidak ada komentar: