KEMUNGKINAN PRESIDENSIAL DALAM PEMERINTAHAN TURKI
OLEH: Emy Hajar Abra
Setelah
kemenangan presiden lalu diikuti kemenangan legislative, kemudian apalagi
langkah AKP di turki selanjutnya?, presidensial kah?. Turki memang cukup
menarik untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan hukum antar negara, lihatlah
dari perjalanan sejarah yang cukup membuat dunia terdiam, dari ideology yang
berani berutar arus beberapa kali, awalnya kerajaan besar islam hingga sekuler
lalu kini berani berputar lagi ke porosnya, lalu kini yang sedang hangat adalah
system ketatanegaraan Turki, khususnya system pemerintahannya. Akankah bertahan
pada parlementer atau berubah menjadi presidensial?.
Sekedar mengingatkan
kembali bahwa Partai Erdogan yakni AKParty memenangkan pemilu parlemen Turki pada
1 November 2015 lalu dan pada 10 Agustus 2014 lalu, Turki menggelar pemilihan presiden
secara langsung untuk pertama kalinya setelah 91 tahun setelah Turki
memproklamasikan republic turki pada 29 Oktober 1923 dengan Mustafa Kemal
sebagai Presiden Republik Turki.
Jika
diperhatikan pada 2014 lalu Turki menggelar pesta demokrasi secara langsung
oleh rakyat, pertanyaannya kemudian adalah dalam system parlementer pantaskah
turki melakukan pemilu langsung? Tentu hal ini harus dikritisi, keinginan
erdogan untuk maju dengan system pemilu langsung oleh rakyat bukanlah tanpa
alasan yang kuat, ini adalah salah satu agenda besar AKP agar membersihkan secara
total system militer dan gaungan sekuler yang cukup “meracuni” nilai sejarah
negara turki. Sebelum berbicara tentang presidensial dalam turki, lebih
baikknya sekilas saya mengulas apa itu parlementer dan presidensial secara sederhana
saja.
Pemerintahan
Parlementer yakni: Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai lembaga
legislative, Anggota parlemen terdiri atas orang dari partai yang memenangkan
pemiihan umum, pemerintahan terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri
sebagai pemimpin kabinet, Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk
melaksakan kekuasaan eksekutif. kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan
dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas parlemen, Kepala negara
tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana
menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan
dalam negara monarki.
Pemerintahan
Presidensial yakni: Presiden memangku jabatan sebagai kepala pemerintahan
dan kepala negara, Presiden diangkat melalui pemilu yang dipilih langsung oleh
rakyat, Anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum,
Presiden mempunyai hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menterinya baik yang memimpin departemen dan non
departemen, Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena ia tidak
dipilih oleh parlemen, Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab oleh
kekuasaan legislatif dan Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh
legislatif dan sebaliknya.
Ada beberapa
hal yang patut dikiritisi dalam system parlementer di Turki:
1. Kedudukan
Presiden di Turki termasuk dianggap kuat, selain bisa dipilih lagi dalam satu
kali masa jabatan Presiden juga tidak bisa dilengserkan oleh parlemen begitu
saja.
2. Peristiwa
yang baru saja terjadi yakni pemilihan langsung Presiden adalah bagian
terpenting yang patut dikritisi jika Turki menggunakan parlementer, karena
bagian itu adalah bagian dari Presidensial.
3. Presiden
Turki bukan hanya lambang semata seperti halnya pada system Parlementer
khususnya pada kerajaan umunya, namun di Turki Presiden memiliki keluwesan
kewenangan yang tidak terlalu kental pemisahannya dengan perdana menteri dalam
menjalankan roda pemerintahannya
4. Munculnya
system multy partai di Turki adalah bagian dari Presidensial bukan Parlementer.
Sebenarnya
kalau hanya masalah keinginan Turki untuk membumi hanguskan campur tangan
militer karena masih menjaga Kemalisme dan nilai sekuler itu sudah berjalan seperti:
keanggotan Mahkamah Agung yang ditambahkan dari 17 menjadi 22 orang, jumalah
anggota Mahkamah Konstitusi dari 11 menjadi 17 tujuannya jelas agar militer dan
kader-kader kemalisme tidak dominan dan yang paling konkrit adalah amandemen
UUD turki yang sama skali sudah tidak memberi ruang lagi pada militer untuk
berkuasa.
Dalam hal
merombak Turki secara parsial, AKP kemudian menyuarakan agenda akbarnya yakni: Turki
baru, Konstitusi baru, Sistem presidensial. Pertentangan dari ketiga agenda inilah
yang kemudian menjadikan turki kembali bergejolak dan memakan korban jiwa pada
bom beberapa waktu lalu, berbagai pihak dan wacana kekholifahan didengungkan
sehingga menurut beberapa pengamat inilah salah satu alasan pada pemilu legislative
kemarin AKP mengalami sedikit goncangan sehingga dilakukannya pemilu ulang.
Agenda
politik Erdogan yang akan menghilangkan system parlementer yang diciptakan oleh
Mustafa Kemal kini sedang dipertaruhkan, jika kemudian amandem dilakukan dan
system pemerintahan presidensial, maka analisanya adalah presiden (red-kholifah)
adalah pemegang kendali, dengan demikian apapun bentuk interfensi dan kekuatan
manapun yang akan bergejolak adalah otoritas Presiden yang menjadi kepala pemerintahan
sekaligus kepala negara, apalagi AKP juga menjadi pemenang dalam legislative,
tentunya hal ini cukup memudahkan Turki dari nilai-nilai sekuler yang selama
ini dijadikan bahan percontohan di bangku bangku sekolah dan kuliah.
Pada masa
parlementer otoritarian dulu, partai-partai islam dihancurkan (islam
benar-benar dijadikan barang najis yang harus disingkirkan pada masa itu).
Adalah Milli Nizham Partisi partai pertama tahun 1970-an yang kemudian
dibubarkan pemerintah. Erbakan kemudian mendirikan lagi Milli Slamet
Partisi (MSP), namun kembali dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian
mendirikan lagi Refah Partisi (Welfare Party) yang berhasil
mengikuti Pemilu 1991 dan 1995, Namun satu tahun kemudian yakni 1996 terjadi
kudeta militer dan partai Refah dibubarkan. Muncul lagi Fazilet
Partisi (FP) atau Virtue Party dan mengikuti Pemilu namun
FP dibubarkan dan Erbakan dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Dan hal itu
adalah akibat dari system parlementer yang otorite serta gaungan sekuler yang
adidaya.
Akhirnya
jikalau nanti amandemen itu benar-benar dilakukan lagi dan system pemerintahan
diubah menjadi Presidensial, maka inilah bentuk nyata khilafah dalam terminologi
hukum modern, dengan demikian perjuangan panjang Erbakan dan sekutu mudanya
kini benar-benar bisa dirasakan oleh semua kalangan. Bicara Turki bukan bicara
tuki itu saja, namun lebih jauh adalah bicara Eropa sekaligus bicara timur
tengah dan dunia peradaban islam modern. Pelajarannya adalah tak usah terlalu
skeptis dalam menilai politik, bahwa islam terlalu modern untuk dipaksakan
sesuai nilai-nilai klasik semata, bukankah cerdas itu berbicara seribu cara
untuk mendapatkan satu tujuan?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar